12.12.11

al-'Ulama Waratsatil Anbiya

Definisi 'Ulama

Secara bahasa, al-'Ulama berasal dari kata kerja dasar al-'Alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku al-'Alimun (orang yang mengetahui) dan al-'Ulama bentuk jamak dari 'Alimun. Berdasarkan istilah, pengertian al-'Ulama dapat dirujuk pada al-Qur'an dan Hadits.

Kata al-'Ulama dan al-'Alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam al-Qur'an ketika kata al-'Ulama disebutkan hanya 2 kali dan kata al-'Alimun sebanyak 5 kali, dan kata al-'Alim sebanyak 13 kali. (Lihat al-Baqi, al-Mu'jam, hal. 603-604).

Penggunaan kata al-'Ulama dalam al-Qur'an selalu saja diawali dengan ajakan untuk merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan teori-teori baru.

Sedangkan kata al-'Alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan al-Qur'an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Contoh pada tataran ini adalah ketika al-Qur'an mengajak al-'Alimun untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh ummat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan. (Lihat QS. al-Ankabut: 40-43).

Penyebutan kata al-'Alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan-Nya.

Kedudukan 'Ulama Menurut al-Qur'an

Untuk mengetahui kedudukan 'Ulama dapat dilihat dalam Surat Fathir ayat 28 dan Surat asy-Syu'ara ayat 197.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah 'Ulama, sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pengampun." (QS. Fathir: 28).

Ibn Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah 'Ulama, maksudnya hanyalah 'Ulama yang 'arif billah yang benar-benar takut pada-Nya, karena sesungguhnya ketika ma'rifat pada Dzat yang Maha Agung, berkuasa, mengetahui dan semua sifat-sifat baik itu semakin sempurna dan pengetahuan tentang-Nya juga semakin sempurna, maka khasyyah (takut) pada-Nya juga semakin besar dan banyak." (Tafsir Ibn Katsir: Juz 3, hal. 729).

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa mereka (para 'Ulama) adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan mereka dari mayoritas orang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah 'Ulama, sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pengampun." Ayat ini merupakan pembatasan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah 'Ulama." (Miftah Dar as-Sa'adah 1/225).

Sedangkan surat yang kedua (Surat asy-Syu'ara: 197) membicarakan tentang kebenaran al-Qur'an dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi yang telah lama diketahui oleh 'Ulama Bani Isra'il.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para 'Ulama Bani Isra'il mengetahuinya?" (QS. asy-Syu'ara: 197).

Di samping itu ada beberapa istilah lain dalam al-Qur'an yang sama dengan pengertian 'Ulama, yaitu: utu al-'Ilm, ulu al-'Ilm, ar-Rasikhun fi al-'Ilm, ulu al-Albab, ahl al-Hikmah (Hukama), ahl al-Fiqh (Fuqaha) dan ahl adz-Dzikr.

Kata utu al-'Ilm terdapat dalam QS. al-Mujadilah: 11: "Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: 'Berlapang-lapanglah dalam majelis', Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: 'Berdirilah kamu', Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sehubungan dengan kedudukan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dalam ayat di atas, Ibn 'Abbas radhiyallahu 'anhu menjelaskan: "(Kedudukan) 'Ulama berada di atas orang-orang yang beriman sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat dengan yang lain seratus tahun." (Tadzkiratus-Sami', hal. 27).

Sedangkan kata ulu al-'Ilm tersebut dalam QS. Ali 'Imran: 18: "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

an-Nasafi membedakan antara istilah utu al-'Ilm dan ulu al-'Ilm, yakni yang pertama menunjukkan arti yang bervariasi, sedangkan yang kedua dikhususkan kepada Nabi-nabi dan 'Ulama.

asy-Syaikh 'Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: "Di dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang keutamaan ilmu dan 'Ulama karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut mereka secara khusus dari manusia lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala menggandengkan persaksian mereka dengan persaksian diri-Nya dan Malaikat-malaikat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan persaksian mereka ('Ulama) sebagai
bukti besar tentang ketauhidan Allah Subhanahu wa Ta'ala, agama, dan balasan-Nya. Dan wajib atas setiap makhluk menerima persaksian yang
penuh keadilan dan kejujuran ini. Dan dalam kandungan ayat ini pula terdapat pujian kepada mereka ('Ulama) bahwa makhluk harus mengikuti mereka dan mereka (para 'Ulama) adalah imam-imam yang harus diikuti. Semua ini menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan ketinggian derajat mereka, sebuah derajat yang tidak bisa diukur." (Tafsir as-Sa'di,
hal. 103).

al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: "Di dalam ayat ini ada dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan 'Ulama. Maka jika ada yang lebih mulia dari mereka, niscaya Allah akan menggandengkan nama mereka dengan nama-Nya dan nama Malaikat-malaikat-Nya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menggandengkan nama 'Ulama." (Tafsir al-Qurthubi, 2/27).

al-Imam Badruddin rahimahullah berkata: "Allah memulai dengan dirinya (dalam persaksian), lalu Malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka)." (Tadzkiratus-Sami', hal. 27).

Istilah ar-Rasikhun fi al-'Ilm (orang-orang yang mempunyai ilmu yang mendalam) disebut dalam al-Qur'an sebanyak dua kali; QS. Ali 'Imran: 7 dan an-Nisa: 163 yang diartikan oleh al-Asfahani dengan orang-orang yang mempunyai ilmu yang tidak bercampur keragu-raguan di dalamnya.

Sedangkan istilah ulu al-Albab diulang sebanyak 16 kali, seperti QS. Ali 'Imran: 190 yang memberi kesimpulan bahwa kriteria ulu al-Albab adalah: 1) berdzikir atau mengingat Allah dalam segala situasi, 2) memikirkan penciptaan langit dan bumi dan 3) selalu berdo'a kepada Allah memohon perlindungan dari api neraka dan selalu mensucikan-Nya.

Adapun istilah ahl al-Hikmah yang bentuk pluralnya adalah hukama tersebut dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah: 269.

Ibn Katsir menegaskan bahwa yang dimaksud dengan hikmah itu ada beberapa pendapat 'Ulama, yaitu nubuwwah, al-Qur'an, as-Sunnah, ilmu pengetahuan, kecerdasan akal, benar dalam ber-ijtihad, khasyyah (takut/taqwa) dan fiqh, namun jumhur 'Ulama menolak pendapat yang terlalu menyempitkan makna hikmah dengan nubuwwah (derajat kenabian) saja.

Dan dari sekian pendapat tentang hikmah itu bisa diambil kesimpulan bahwa ahl al-Hikmah adalah istilah lain bagi istilah 'Ulama, karena beberapa pendapat itu dapat ditarik benang merah dengan teks dan konteks dua ayat tersebut di atas yang secara mantuq (eksplisit) menggunakan kata 'Ulama, yaitu, QS. Fathir: 28 dan asy-Syu'ara: 197.

Walaupun sebagian 'Ulama ada yang berusaha membedakan antara 'Ulama dan hukama seperti al-Fudlail ibn 'Iyadl, salah seorang Sufi besar pada masanya. Ia berkata bahwa 'Ulama memang banyak, tapi hukama sangat sedikit. Dan ketika ada orang yang berkata bahwa 'Ulama adalah pewaris para Nabi, lantas al-Fudlail membantahnya bahwa hukama itulah yang hakikatnya pantas menjadi pewaris para Nabi. (Abu Nu'aim al-Ashbahani, Hilyat al-'Auliya wa Thabaqat al-Asfiya, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi), Juz 8, hal. 192.).

Seorang 'Ulama adalah mereka yang tafakkuh fi ad-din (belajar ilmu agama) atau bisa disebut ahl al-Fiqh sebagaimana tersebut dalam QS. at-Taubah: 122: "Tidak sepatutnya bagi Mu'minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."

Seorang 'Ulama juga sebagai tempat konsultasi dan bertanya persoalan-persoalan agama khususnya dan ia bisa disebut ahl adz-Dzikr seperti dijelaskan: "Maka bertanyalah kalian kepada ahli Dzikir (ahlinya/ilmu) jika kalian tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 43) dan al-Anbiya: 7. Dan kata ahl adz-Dzikr bisa berarti ahli al-Qur'an atau ahli berdzikir pada Allah.

asy-Syaikh 'Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka ('Ulama) dalam segala hal. Dan dalam kandungan ayat ini, terdapat pujian terhadap 'Ulama dan rekomendasi untuk mereka dari sisi di mana Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka." (Tafsir as-Sa'di, hal. 394).

asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan: "Segala puji bagi Allah, tidaklah seseorang melakukan kebid'ahan melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pemberian nikmat-Nya
membangkitkan orang yang akan membongkar kebid'ahan tersebut dan akan melumatkan dengan kebenaran. Dan ini merupakan perwujudan dari firman-Nya: 'Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.' Inilah bentuk pemeliharaan Allah terhadapnya." (Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 25).

Kedudukan 'Ulama Menurut Hadits

Tidak banyak ditemui hadits-hadits yang secara langsung menyebut istilah 'Ulama kecuali hadits yang berbunyi: al-'Ulama waratsatil anbiya "Ulama adalah pewaris para Nabi." (HR. at-Tirmidzi dari Abu ad-Darda radhiyallahu 'anhu).

Lengkapnya hadits ini adalah sebagai berikut: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya 'Ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak." (Hadits ini diriwayatkan at-Tirmidzi di dalam Sunan-nya no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibn Majah di dalam Muqaddimah-nya dan dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibn Hibban. asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan: "Haditsnya shahih." Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibn Majah no. 182, dan Shahih at-Targhib, 1/33/68).

asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan: "Ilmu merupakan warisan para Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para Nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar." (Kitabul-'Ilmi, hal. 16).

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa para 'Ulama itu adalah orang-orang pilihan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami." (QS. Fathir: 32).

Ibn Katsir rahimahullah menyatakan dalam Tafsir-nya: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) al-Kitab (al-Qur'an) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini." (Tafsir Ibn Katsir, 3/577).

al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan: "Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi al-'Ulama waratsatil anbiya ('Ulama adalah pewaris para Nabi)." (Fathul-Bari, 1/83).

al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: "Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu al-Kitab (al-Qur'an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para 'Ulama dari ummat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu... dan tidak ada keraguan bahwa 'Ulama ummat ini adalah para Sahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai ummat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat Nabi yang terbaik dan Sayyid Bani Adam." (Fathul-Qadir, hal. 1418).

asy-Syaikh Zaid ibn Muhammad ibn Hadi al-Madkhali mengatakan: "Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barangsiapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut Nabi dan Rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para 'Ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para Nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap ummat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan ummat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan do'a-do'a yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi." (al-Manhaj al-Qawim fi at-Taassi bi ar-Rasul al-Karim hal. 15).

asy-Syaikh Shalih Fauzan
mengatakan: "Kita wajib memuliakan 'Ulama Muslimin karena mereka adalah pewaris para Nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum Muslimin. 'Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah ummat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan Muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai 'Ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari 'Ulama, lalu kepada siapa kaum Muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syari'at, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara." (al-Ajwibah al-Mufidah, hal. 140).

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan para 'Ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syari'at terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi Muslimin.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-Ash radhiyallahu 'anhu, katanya: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para 'Ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang 'alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan." (HR. al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673).

Ibn Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan: asy-Sya'bi berkata: "Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan."

Di dalam Shahih al-Hakim diriwayatkan dari 'Abdullah ibn 'Amr secara marfu' (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): "Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para 'Ulama dan diangkatnya orang jahat." (Jami'ul Ulum wal-Hikam, hal. 60).

Meninggalnya seorang yang 'alim akan menimbulkan bahaya bagi ummat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan 'Ulama di tengah kaum Muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Terlebih Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya: "Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan."

(*dari berbagai sumber)



FeedCount

Cari artikel di blog ini

Loading

Ikuti via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Followers

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template