Definisi Sahabat Nabi
Sahabat Nabi, dari kata Shahabah (ash-Shahabah) adalah mereka yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaam Muslim.
Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah mendefinisikan Sahabat dalam pernyataan beliau: "Setiap orang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setahun atau sebulan atau sehari atau sesaat atau hanya melihatnya maka ia termasuk Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Ibn Taimiyah rahimahullah menjelaskan: "Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah." (Majmu' Fatawa [4/464]).
Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah berkata di dalam kitabnya: "Siapakah Sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat Sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut Sahabat, meski ia hanya menyertai beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu lama." (al-Mustashfa [1/165]).
Namun definisi yang rajih adalah definisi al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani asy-Syafi'i rahimahullah yaitu: "ash-Shabi (Sahabat) adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan Mu'min (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam." (al-Ishabah fi Tamyiiz ash-Shahabat karya al-Hafidz Ibn Hajar, cetakan tanpa tahun, Dar al-Kutub al-Ilmiyah [1/4]).
Sehingga definisi ini mencakup orang yang berjumpa dengan beliau dan ber-mulazamah lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama beliau atau tidak dan orang yang melihat beliau walaupun belum bermajelis dengannya dan orang yang tidak melihat beliau karena buta.
Apabila ada orang yang waktu bertemu atau berkumpul dengan Rasulullah dalam keadaan beriman, kemudian dia murtad (keluar dari Islam), maka orang tersebut tidak termasuk (tidak digolongkan) sebagai Sahabat. Sebab waktu mati dia tidak dalam keadaan beriman tapi sudah murtad. Karena itu di zaman Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, orang-orang murtad itu diperangi.
Adapun orang-orang Munafiqin, mereka itu tidak termasuk Sahabat, karena mereka itu tidak beriman, tapi pura-pura beriman. Dzahirnya beriman, tapi bathinnya tetap kafir.
Abu Zur'ah rahimahullah berkata: "Sesungguhnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dengan meninggalkan 114.000 orang Sahabat dan masa Sahabat berakhir dengan wafatnya Abu Thufail 'Amir ibn Watsilah al Laitsi al-Kanani pada tahun 100 H." (Tadrib ar-Rawi [208]).
Kedudukan Sahabat Nabi Menurut al-Qur'an
Kedudukan dan keutamaan para Sahabat Nabi banyak disebutkan di dalam al-Qur'an, di antaranya:
Allah berfirman: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya,
itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 100).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia." (QS. al-Anfal: 74).
Firman Allah yang lain: "Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mu'min, ketika mereka berjanji setia kepadanya di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS. al-Fath: 18).
Para Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah Ta'ala. Mereka telah diberikan anugerah yang begitu besar yakni kesempatan bertemu dan menemani Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala telah memilih mereka untuk mendampingi dan membantu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menegakkan agama-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110).
Ibn Katsir rahimahullah mengatakan, "Pendapat yang benar adalah ayat ini umum mencakup seluruh umat di setiap zaman. Dan sebaik-baik mereka adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus bersama mereka (yaitu para Sahabat), kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka." (Tafsir Ibn Katsir [2/83]).
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". (QS. al-Fath: 29).
Ayat ini mencakup seluruh Sahabat Nabi radhiyallahu 'anhum, karena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam Tafsir-nya, Ibn Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku` dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Firman Allah "dan keridhaan-Nya", yakni Allah meridhai mereka semua". Allah berfirman, yang artinya: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (QS. at-Taubah: 100)."
Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibn Katsir rahimahullah berkata: "Allah Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terutama penghulu para Sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di antara mereka, yakni ash-Shiddiq al-Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar ibn Abi Quhafah radhiyallahu 'anhu."
Kedudukan Sahabat Nabi Menurut Hadits
Diriwayatkan dari 'Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah dan bersaksi sebelum diminta)." (HR. al-Bukhari [3651] dan Muslim [2533]).
Dari Abu Burdah dari bapaknya ia berkata: "Selepas kami shalat Maghrib bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kami katakan, 'Bagaimana bila kita tetap duduk di masjid dan menunggu shalat Isya' bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,' Maka kami pun tetap duduk, hingga keluarlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk shalat Isya'. Beliau mengatakan, 'Kalian masih tetap di sini?' Kami katakan, 'Wahai Rasulullah kami telah melakukan shalat Maghrib bersamamu lalu kami katakan, alangkah baiknya bila kami tetap duduk di sini menunggu shalat Isya' bersamamu.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Kalian benar.' Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit lalu berkata, 'Bintang gemintang itu adalah para penjaga langit, apabila bintang itu lenyap maka terjadilah pada langit itu apa yang telah dijanjikan, aku adalah penjaga para Sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan, dan para Sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para Sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan'." (HR. Muslim [7/183]).
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Makna hadits di atas adalah selama bintang itu masih ada maka langit pun akan tetap ada, apabila bintang-bintang itu runtuh dan bertebaran pada hari kiamat kelak maka langit pun akan melemah dan akan terbelah dan lenyap. Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aku adalah penjaga para Sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan', yaitu akan terjadi fitnah, pertempuran, perselisihan, dan pemurtadan. Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Para Sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para Sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan', maknanya akan terjadi kebid'ahan dan perkara-perkara baru dalam agama dan juga fitnah." (Syarh Shahih Muslim [16/83]).
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling tinggi ilmunya. Merekalah yang paling paham perkataan dan perilaku Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Merekalah manusia yang paling paham tentang al-Qur'an, karena mereka telah mendampingi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala wahyu diturunkan, sehingga para Sahabat benar-benar mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
'Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik, sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah
hati Muhammad. Allah mendapati hati para Sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin (para Sahabat), pasti baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah." (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad [I/379, no. 3600]. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanadnya shahih).
Ibn Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Siapa saja yang ingin meneladani (seseorang), maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal dunia, merekalah para Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka sebaik-baik umat ini, paling dalam ilmunya dan paling sedikit bebannya karena setiap ada masalah mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi-, mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih untuk menemani Nabi-Nya dan membawa syari'at-Nya, maka teladanilah akhlak-akhlak mereka dan jalan hidup mereka. Karena mereka para Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sungguh mereka berada di atas petunjuk yang lurus." (Hilyatul Auliya [1/205-206]).
Larangan Mencela Sahabat Nabi
Orang-orang yang menyakiti para Sahabat berarti mereka telah menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan siapa saja yang menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berarti telah menyakiti Allah Subhanahu wa Ta'ala dan siapa pun yang menyakiti Allah Subhanahu wa Ta'ala maka dia adalah orang yang melakukan perbuatan dosa yang paling besar bahkan bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan." (QS. al-Ahzab: 57).
Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Janganlah kalian mencela para Sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya." (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya kitab al-Manaqib bab Qauluhu Lau Itakhadztu Khalilaan [3397] dan lafadz al-Bukhari; Muslim dalam Shahih-nya kitab Fadha'il ash-Shahabat bab Tahrim Sabbi ash-Shahabat [4610 dan 4611]; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya kitab al-Manaqib 'An an-Nabi bab Fiman Sabba Ashaabi an-Nabi [3796]; Abu Dawud dalam Sunan-nya Kitab as-Sunnah bab an-Nahyu 'An Sabb Ashabi an-Nabi [4039]; Ibn Majah dalam Sunan-nya kitab Muqaddimah bab Fadhlu Ahli Badr [157]; Ahmad dalam Musnad-nya [10657, 11092 dan 11180]).
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Barangsiapa mencela Sahabatku, atasnya laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala, para Malaikat dan manusia seluruhnya." (HR. ath-Thabrani dalam Mu'jamul Kabi [12/142] dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahadis ash-Shahihah [2340]).
Larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa'id di atas, bahkan ini sudah merupakan kesepakatan Ahlussunnah wal-Jama'ah sebagaimana dinyatakan Ibn Hajar dalam pernyataan beliau dalam Fathul Bari [13/34]: "Ahlussunnah wal-Jama'ah telah bersepakat tentang kewajiban tidak mencela seorang pun dari para Sahabat." (Dinukil dari kitab Min Aqwaal al-Munshifiin fi ash-Shahabat al-Khalifah Mu'awiyah, karya Syaikh Abdulmuhsin ibn Hamd al-'Abaad, cetakan pertama tahun 1416 H, Markas Syu'un ad-Dakwah, al-Jami'ah al-Islamiyah, Madinah, hal. 13).
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan kemuliaan para Sahabat dan haramnya mencela apalagi mencaci para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kewajiban kita adalah memuliakan mereka karena mereka telah memuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Inilah manhaj (metode) yang ditempuh oleh Ahlussunnah wal-Jama'ah. Siapa saja yang menyimpang dari metode ini berarti mereka adalah orang-orang yang tersesat dari jalan yang benar.
Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah mengatakan, "Termasuk hujjah (argumentasi) yang jelas adalah menyebut kebaikan-kebaikan para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya, dan menahan lisan dari membicarakan keburukan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Siapa saja yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau salah satu di antara mereka, mencacat dan mencela mereka, membongkar aib mereka atau salah satu dari mereka maka dia adalah mubtadi (bukanlah Ahlussunnah), Rafidhi (Syi'ah) yang berpemikiran menyimpang. Mencintai para Sahabat adalah sunnah, mendo'akan kebaikan untuk mereka adalah amalan ketaatan, meneladani mereka adalah perantara (ridha-Nya), mengikuti jejak mereka adalah kemuliaan. Para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, tidak dibenarkan bagi seorang pun menyebut-nyebut kejelekan mereka, tidak pula mencacat atau mencela dan membicarakan aib salah satu di antara mereka."
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata: "Adapun orang yang mengiringi celaannya dengan keyakinan 'Ali sebagai tuhan atau ia seorang Nabi atau keyakinan Jibril salah dalam menyampaikan wahyu; maka ini tidak diragukan kekafirannya, bahkan tidak diragukan juga kekafiran orang yang tidak mengkafirkannya." (Mukhtashor ash-Sharim al-Mashlul 'Ala Syatim ar-Rasul karya Ibn Taimiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdulhamid, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut hal. 586).
Syaikhul Islam juga berkata: "Adapun orang yang melewati hal itu (yaitu sekedar mencela) sampai menganggap para Sahabat telah murtad setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali sejumlah kecil tidak sampai belasan orang atau menganggap para Sahabat seluruhnya fasiq; maka tidak diragukan lagi kekafirannya, karena ia telah mendustakan nash al-Qur'an yang banyak berisi keridhaan dan pujian kepada mereka. Bahkan orang yang ragu tentang kekafiran yang seperti ini maka kekafirannya itu pasti." (Mukhtashor ash-Sharim al-Mashlul 'Ala Syatim ar-Rasul hal. 586-587).
Masih menurut perkataan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah: "Adapun orang yang mencela mereka (para Sahabat) dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama para Sahabat -seperti mensifatkan sebagian mereka dengan bakhil atau penakut atau sedikit ilmu atau tidak memiliki sifat zuhud dan sejenisnya-. Maka orang inilah yang berhak mendapat pembinaan dan hukuman ta'zir dan kita tidak menghukumnya kafir hanya dengan hal ini saja." (ash-Sharim al-Masluul hal. 586).
Mencela para Sahabat Nabi berarti mencela saksi al-Qur'an dan Sunnah dan dapat membawa pelakunya menjadi zindiq. Hal ini diungkapkan Imam Abu Zur'ah ar-Razi rahimahullah dalam pernyataan beliau: "Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketahuilah ia seorang zindiq. Itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa menurut kita adalah benar dan al-Qur'an benar. Sedangkan yang menyampaikan al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita adalah para Sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan al-Qur'an dan Sunnah. Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas dan mereka adalah zindiq."
Sikap Ahlussunnah wal-Jama'ah Terhadap Perselisihan yang Terjadi di antara Sahabat Nabi
Ibn Baththah rahimahullah berkata (berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara Sahabat): "Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya. Itulah perkara yang disepakati para 'Ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara 'Ulama tersebut ialah: Hammad ibn Zaid, Yunus ibn Ubaid, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah, Abdullah ibn Idris, Malik ibn Anas, Ibn Abi Dzi'b, Ibn al-Munkadir, Ibn al-Mubarak, Syu'aib ibn Harb, Abu Ishaq al-Fazari, Yusuf ibn Asbath, Ahmad ibn Hanbal, Bisyr ibn al-Harits dan Abdul Wahhab al-Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya." (al-Ibanah, karangan Ibn Baththah, hal. 268. Bagi yang ingin penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab as-Sunnah, karangan al-Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitabnya itu tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap Sahabat Nabi).
Abu 'Utsman Ismail ibn 'Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam 'Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlussunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara Sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para Sahabat."
Khalifah Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!" (as-Sunnah, al-Khallal [717]).
Wallahu a'lam bish-shawab.
* Sumber artikel:
1. Wikipedia; Sahabat Nabi
2. AlManhaj; Jangan Mencela Sahabat Rasulullah!, Penulis: Ustadz Abu Asma' Kholid bin Syamhudi
3. KisahMuslim.com; Mengenal Keutamaan Sahabat Nabi
4. Muslim.or.id; Keutamaan Para Sahabat Nabi, Penulis: Muhaimin Ashuri, Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar, MA