11.1.12

al-Imam al-Hafizh al-Hujjah al-Muarrikh ats-Tsiqah Imaduddin Abu al-Fida' Isma'il ibn Umar ibn Katsir rahimahullah

Nama Lengkap

Nama lengkap beliau adalah Imaduddin Abul Fida' Isma'il ibn Umar ibn Katsir ibn Dhau ibn Katsir ibn Zara' al-Qurasyi al-Bashrawi ad-Dimasyiq asy-Syafi'i, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ibn Katsir. Beliau dilahirkan di desa Mijdal, wilayah Bushra, sebelah timur Dasmaskus. Sedangkan tahun kelahirannya, para ahli sejarah Islam berbeda pendapat. al-Husaini, pengarang kitab Zailu Thabaqatil Hufadz mengatakan tahun kelahiran Ibn Katsir adalah 701 H. Ibn Hajar dalam kitab ad-Duraru al-Kaminah mengatakan tahun 700 atau lebih sedikit. Sedang as-Suyuti dalam Zailu Tazkiratil Hufadz mengatakan Ibn Katsir dilahirkan tahun 700 H.

Di antara tiga pendapat ini, yang menurut 'Ulama kontemporer lebih tepat adalah pendapat al-Husaini yang mengatakan tahun kelahiran Ibn Katsir pada 701 H/1301 M. Hal ini didasarkan pada fakta hidup Ibn Katsir dan al-Husaini yang semasa, kemudian dari penelusuran pernyataan Ibn Katsir sendiri dalam kitab karangannya al-Bidayah wa an-Nihayah bahwa beliau (Ibn katsir) tengah berusia tiga tahun di saat ayahnya wafat pada tahun 703 H.

Ibn Katsir rahimahullah adalah anak paling bungsu. Beliau dinamai Isma'il sesuai dengan nama kakaknya yang paling tua yang telah wafat sebelum beliau lahir. Ayah beliau, Syaikh Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir adalah 'Ulama yang faqih dan berpengaruh di daerahnya. Ketika ayahnya meninggal dunia, Ibn Katsir kemudian diasuh dan dididik oleh kakaknya yang bernama 'Abdul Wahab ibn Umar. Dan ketika berusia lima tahun, beliau dikirim oleh kakaknya ke Damaskus untuk menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan dari Damaskus itulah, beliau kemudian memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu ke berbagai kota.

ad-Daawi dalam kitab Thabaqatu al-Mufassirin mengomentari masa muda Ibn Katsir yang rajin menuntut ilmu, ia berkata: "Ibn Katsir banyak menyimak pelajaran, semangat dalam menghafal matan hadits, menguasai ilmu sanad, rijal hadits dan sejarahnya, sehingga beliau benar-benar menjadi orang yang sangat menguasai ilmu-ilmu tersebut di saat usianya yang masih muda."

Wafatnya

Ibn Katsir rahimahullah wafat pada hari Kamis, 26 Sya'ban 774 H pada usia 74 tahun. Beliau dikuburkan di pemakaman shufiyah Damaskus, di sisi makam guru yang sangat dicintai dan dihormatinya yaitu Ibn Taimiyah rahimahullah.

Karya-Karyanya

Ibn Katsir rahimahullah adalah 'Ulama yang sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :

Ilmu Tafsir

Ibn Katsir rahimahullah menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibn Katsir. Hingga kini, tafsir al-Qur'an al-Karim sebanyak 10 jilid ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang dalam dunia Islam.

Di samping itu, beliau juga menulis buku Fadha'il al-Qur'an (Keutamaan al-Qur'an), berisi ringkasan sejarah al-Qur'an.

Beliau memiliki metode sendiri dalam bidang ini, yakni:
1. Tafsir yang paling benar adalah tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri.
2. Selanjutnya bila penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an tidak didapatkan, maka al-Qur'an harus ditafsirkan dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab menurut al-Qur'an sendiri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memang diperintahkan untuk menerangkan isi al-Qur'an.
3. Jika yang kedua tidak didapatkan, maka al-Qur'an harus ditafsirkan oleh pendapat para Sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya al-Qur'an.
4. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat dari para Tabi'in dapat diambil.

Ilmu Hadits

Ibn Katsir rahimahullah pun banyak menulis kitab ilmu hadits. Di antaranya yang terkenal adalah :
1. Jami' al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan) sebanyak 8 jilid, berisi nama-nama Sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
2. al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadits yang Enam) yakni suatu karya hadits.
3. at-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal (Pelengkap dalam Mengetahui Perawi-perawi yang Dipercaya, Lemah dan Kurang Dikenal).
4. al-Mukhtasar (Ringkasan) merupakan ringkasan dari Muqaddimmah-nya Ibn Salah
5. Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang Ilmu Hadits) atau lebih dikenal dengan nama al-Ba'its al-Hadits.

Ilmu Sejarah

Beberapa karya Ibn Katsir rahimahullah dalam ilmu sejarah ini antara lain :
1. al-Bidayah wa an-Nihayah (Permulaan dan Akhir) atau nama lainnya Tarikh Ibn Katsir sebanyak 14 jilid.
2. al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul).
3. Thabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat 'Ulama Mazhab Syafi'i).

Kitab sejarahnya yang dianggap paling penting dan terkenal adalah al-Bidayah wa an-Nahayah. Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut, yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sejarah Islam mulai dari periode da'wah Nabi ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab al-Bidayah wa an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam penulisan sejarah Islam.

Ilmu Fiqh

Dalam ilmu fiqh, Ibn Katsir rahimahullah juga tidak diragukan keahliannya. Oleh para penguasa, beliau kerap dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata pemerintahan dan kemasyarakatan yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi pada tahun 1358 M serta upaya rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan Baydamur pada tahun 1361 M dan dalam menyerukan jihad (1368 - 1369 M). Selain itu, beliau menulis buku terkait bidang fiqh didasarkan pada al-Qur'an dan hadits. Ibn Katsir rahimahullah wafat tidak lama setelah beliau menyusun kitab al-Ijtihad fi Thalab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari Jihad).

Para Guru dan Muridnya

Ibn Katsir rahimahullah memiliki 16 orang guru seperti yang dituliskan dalam kitab Thabaqatul Mufassirin, mereka itu adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Burhanuddin 'Abdurrahman al-Fazaari, terkenal dengan nama al-Farkah
2. Syaikh Kamaluddin ibn Qadhi Syuhbah
3. Syaikh Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf ibn az-Zaki al-Mizzi yang kemudian menjadi mertuanya
4. Syaikh Ibn Suwaid
5. Syaikh Qasim ibn Asaakir
6. Syaikh Ibn Sahnah
7. Syaikh Muhammad ibn Zuraad
8. Syaikh Ishaq al-Aamidi
9. Syaikh Ibn Raadhi
10. Syaikh Abu al-Fatah ad-Dabuusiy
11. Syaikh al-Waani
12. Syaikh al-Hutni
13. Syaikh Ibn Taimiyah
14. Syaikh al-Ashfahaani
15. Syaikh al-Hajjaar
16. Syaikh az-Zahabi

Murid-murid Beliau

Sejak muda Ibn Katsir rahimahullah telah menduduki banyak jabatan penting di bidang pendidikan, beliau juga menjadi guru besar di Masjid Umayyah Damaskus. Sedang terkait dalam jumlah murid-muridnya, kitab sejarah tidak banyak menyebutkan secara jelas jumlah muridnya, yang pasti Ibn Katsir memiliki murid yang sangat banyak. Hal ini karena beliau pernah menjabat sebagai guru besar pada sebuah sekolah Daarul Hadits al-Asyrafiyyah setelah wafatnya Imam Subkhi.

Di antara nama muridnya yang terkenal adalah Syaikh Syihabuddin ibn Hijji.

Sifat dan Kedudukan Ilmunya

adz-Dzahabi berkata tentang sifat Ibn Katsir: "Ia pandai memberikan fatwa, juga dalam berdebat, menguasai fiqh, tafsir, nahwu, dan sangat menguasai ilmu rijal hadits...."

adz-Dzahabi juga mengatakan dalam Thabaqatul Hufadz: "Ibn Katsir seorang yang ahli fiqh yang sangat teliti, ahli hadits yang cermat, dan ahli tafsir yang sangat kritis."

ad-Dawi dalam Thabaqatul Mufassirin mengatakan: "Ibn Katsir adalah
panutan para 'Ulama dan para hufadz
hadits, serta rujukan para ahli
semantik..."

Sebagaimana juga dikatakan oleh muridnya sendiri Ibn Hijji: "Ibn Katsir adalah orang yang paling hafal atas matan-matan hadits, yang paling tahu takhrij hadits-haditsnya, semua orang dari murid dan gurunya mengetahui realita ini, sering pula dalam tulisannya beliau menyertakaan pengetahuannya tentang fiqh dan sejarah, jarang sekali lupa, seorang ahli fiqh yang sangat baik pemahamannya, pemikirannya sangat cerdas, beliau telah hafal kitab tanbih sampai beliau meninggal, memahami ilmu bahasa Arab secara luar biasa, juga pembuat syair yang indah, tidak pernah aku merasa sering bertemu dengannya kecuali aku selalu mendapatkan manfaat dari dirinya."

Imam asy-Syaukani dalam al-Badru ath-Thaali berkata: "Ibn Katsir sangat pandai dalam fiqh, tafsir, nahwu, sangat faham dalam ilmu rijal hadits, selain mengajar beliau juga memberikan fatwa."

Demikian biografi singkat al-Imam al-Hafizh al-Hujjah al-Muarrikh ats-Tsiqah Imaduddin Abu al-Fida' Isma'il ibn Umar ibn Katsir rahimahullah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai beliau dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabbnya. Amiin.



al-Imam al-Alamah al-Hafizh asy-Syaikh Ibn al-Jauzi rahimahullah

Nama Lengkap dan Nasabnya

Nama lengkap beliau adalah Jamalludin 'Abdul Faraj 'Abdurrahman ibn 'Ali ibn Muhammad ibn 'Ali al-Qurasyi at-Taimi al-Bakri al-Baghdadi al-Hambali. Nasab beliau sampai kepada Khalifah ar-Rasyidin yang pertama Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Nasab lengkapnya yaitu Jamalludin 'Abdul Faraj 'Abdurrahman ibn 'Ali ibn Muhammad ibn 'Ali ibn 'Ubaidillah ibn 'Abdullah ibn Hammadi ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ja'far ibn 'Abdullah ibn al-Qasim ibn an-Nadr ibn al-Qasim ibn Muhammad ibn 'Abdullah al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar ash-Shiddiq al-Quraysi at-Taimi al-Bakri al-Baghdadi al-Hambali. Beliau diberi gelar Ibn al-Jauzi dinisbatkan kepada kakeknya yang ketujuh yang bernama Ja'far. Kakeknya tersebut terkenal dengan sebutan Ibn al-Jauzi (anak kelapa), karena kelapa yang ia miliki di Wasith, dimana di sana sama sekali tidak ada kelapa selain milik beliau.

Ibn al-Jauzi rahimahullah hidup pada zaman Dinasti Abbasiyah (132-656 H). Beliau lahir di Darbu Habib yang terletak di Baghdad, dan diperselisihkan mengenai tanggal kelahirannya. Ada yang mengatakan beliau lahir pada tahun 507 H, ada pula yang mengatakan pada tahun 509 H atau tahun 510 H. Pendapat yang paling tepat adalah beliau dilahirkan sesudah tahun 510 H.

Pada muqadimah dalam beberapa karyanya, dikatakan bahwa beliau mulai menulis kitab pada tahun 527 H, saat berumur 17 tahun. Juga sebagaimana dinukilkan dari dirinya sendiri, pada bagian akhir Kitab Tarikh Baghdad karya Ibn an-Najar, "Aku tidak bisa memastikan tahun kelahiranku, hanya saja ayahku meninggal pada tahun 514 H. Sementara ibuku mengatakan bahwa umurku pada saat itu adalah 3 tahun." Berdasarkan tulisan itu, tahun kelahirannya adalah 511 H atau 1117 M.

Keluarganya adalah pedagang tembaga, karena itu didapati beberapa nama kuno-nya yang terkenal adalah 'Abdurrahman ibn 'Ali al-Jauzi ash-Shafar.

Saat ayahnya meninggal lalu beliau diasuh oleh bibinya (dari pihak ayah). Ketika beliau mulai tumbuh, bibinya membawa beliau kepada al-Hafizh Abu al-Fadhl ibn Nashir, lalu beliau belajar kepadanya. Dari Ibn Nashir, beliau mendapat seluruh perhatian dan pendidikan yang baik, hingga Ibn Nashir memperdengarkan hadits kepadanya.

Sejak masa kanak-kanaknya, Ibn al-Jauzi hidup dengan wara', taqwa, dan zuhud. Beliau juga tidak suka berkumpul dengan orang banyak, karena khawatir waktunya terbuang sia-sia dan menghindari terjadinya kesalahan. Dengan demikian, dia telah menjaga diri, ruh, dan waktunya.

al-Imam Ibn Katsir berkomentar, "Saat masih kecil, beliau (Ibn al-Jauzi) adalah orang yang taat beragama dan menutup diri, tidak suka bergaul dengan seorang pun, tidak memakan suatu yang mengandung syubhat, tidak keluar dari rumahnya kecuali untuk shalat berjama'ah, dan tidak bermain-main dengan anak-anak lainnya."

Ciri-Ciri Fisik

Ibn al-Jauzi rahimahullah memiliki perawakan yang lembut, tabiat yang manis, suara yang merdu dan gerakan yang teratur, beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktu sedikit pun, sehingga beliau dapat menulis empat buku setiap hari.

Ujian dalam Kehidupannya

Ibn al-Jauzi rahimahullah mendapat ujian di akhir umurnya. Hal itu disebabkan karena suatu peristiwa. Saat pemerintahan menteri Ibn Yunus al-Hambali telah diadakan pembubaran majelis ar-Rukn 'Abdussalam ibn 'Abdul Wahhab ibn 'Abdul Qadir al-Kili, dan kitab-kitabnya pun dibakar. Di dalam kitab-kitab tersebut terdapat banyak ajaran atheisme, penyembahan kepada bintang-bintang, dan berbagai pendapat orang-orang terdahulu. Itu dilakukan di hadapan Ibn al-Jauzi dan para 'Ulama lainnya. Sang menteri menyita sebuah madrasah milik kakek 'Abdussaalam dan menyerahkannya kepada Ibn al-Jauzi.

Tatkala Ibn al-Qashshab menjabat sebagai menteri -sedang dia adalah seorang penganut Syi'ah Rafidhah- dia berusaha menangkap Ibn Yunus dan mengejar teman-temannya. ar-Rukn berkata, "Apa tindakanmu terhadap Ibn al-Jauzi? Sesungguhnya dia adalah penentangku dan termasuk anak Abu Bakar, dialah sahabat Ibn Yunus yang paling dekat. Ibn Yunus telah memberinya madrasah milik kakekku dan kitab-kitab kakekku juga dibakar atas saran Ibn al-Jauzi."

Kemudian Ibn al-Qashshab menulis surat kepada Khalifah an-Nashir -yang memiliki kecenderungan kepada Syi'ah-. Ibn al-Qashshab bermaksud menyakiti Ibn al-Jauzi dan memerintahkan agar dia diserahkan kepada ar-Rukn 'Abdussalam.

an-Nashir pun datang ke rumah Ibn al-Jauzi, lalu memaki-maki, menghina, menyegel rumah, dan mencerai-beraikan keluarga beliau. Kemudian beliau dimasukkan ke dalam kapal menuju tempat bernama Wasith. Di sana beliau ditahan di dalam suatu ruangan. Kondisi itu beliau jalani selama lima tahun dan pada saat itu beliau masih beraktifitas seperti biasa. Beliau tetap mencuci pakaiannya dan memasak.

Ujian dengan berbagai jenisnya, kesabaran dalam menghadapinya, dan terus berdiri tegar menghadapi kebathilan, kedzaliman dan thaghud, semuanya merupakan bentuk kegigihan para 'Ulama dan para Mujahid yang ikhlas.

Wafatnya

Imam Ibn al-Jauzi rahimahullah wafat pada tengah malam Jum'at, 13 Ramadhan 597 H di Baghdad, mendekati 90 tahun dari usianya. Jenazah beliau dimandikan pada waktu sahur. Penduduk Baghdad pun berkumpul dan memikul jenasah beliau di atas kepala mereka. Jumlah mereka amat banyak, sampai-sampai jenasah tiba di lubang kuburnya pada waktu shalat Jum'at, saat muadzin tengah mengucapkan, "Allahu akbar". Beliau dimakamkan di Bab Harb, dekat makam Imam Ahmad ibn Hanbali rahimahullah.

Karya-Karyanya

Beliau memiliki peran dalam semua bidang ilmu, beliau adalah seorang yang sangat menonjol dalam bidang tafsir, memiliki gelar al-Hafizh dalam bidang hadits, termasuk 'Ulama yang sangat luas dalam bidang sejarah, bahkan beliau memiliki satu buku dalam bidang kedokteran yang diberi nama Kitab al-Luqath.

Ibn Rajab meriwayatkan dari al-Qathi'i dalam kitab tariknya, bahwa telah terbukti karya tulis yang dibuat oleh Ibn al-Jauzi dengan tulisan tangannya mencapai kira-kira 199 judul buku.

Karya-karya Ibn al-Jauzi rahimahullah, antara lain: Talqih Fuhum Ahl al-atsar fi Mukhtashar al-Sayr wa al-Akhbar, al-Adzkiya' wa Akhbaruhum, al-Mawdhu'at, Manaqib Umar ibn 'Abd al-Aziz, Ruh al-Arwah, Syudzur al-Uqud fi Tarikh al-Uhud (manuskrip), Zad al-Masir fi Tafsir, al-Muntazhim fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (enam jilid), al-Dzahab al-Masbuk fi Sayr al-Muluk (manuskrip), al-Humuqa wa al-Mughfilin, al-Wafa fi Fadhail al-Musthafa, Manaqib Umar ibn al-Khaththab, Manaqib Ahmad ibn Hanbal, Gharib al-Hadits, al-Tahqiq. Dan banyak lagi karya lain beliau dalam berbagai disiplin ilmu.

Para Guru dan Murid-murid Ibn al-Jauzi

Ibn al-Jauzi telah mengarang satu buku khusus mengenai para gurunya. Di dalamnya beliau menyebutkan sekitar 80 orang syaikh. Pada pendahuluan buku tersebut, beliau menyebutkan perhatian beliau dalam memilih para guru yang paling unggul dan paling paham. Beliau berkata, "Syaikh kami, Ibn Nashir membawaku kepada beberapa syaikh, di waktu aku masih kecil. Ia memperdengarkan kepadaku hadits-hadits 'Ali, menegaskan bahwa aku telah mendengar hadits-hadits tersebut dengan bukti tertulis darinya, dan memintakan ijazah-ijazah dari mereka untukku. Tatkala aku telah paham tentang menuntut ilmu, aku tetap berguru kepada beberapa syaikh yang paling pandai dan mengutamakan para guru periwayatan hadits yang paling paham. cita-citaku saat itu adalah memperbaiki semangatku, bukan memperbanyak jumlahnya."

Di antara guru beliau adalah:
1. Abu Bakar Muhammad ibn 'Abdul Baqi ibn Muhammad ibn 'Abdullah ibn 'Abdurrahman ibn ar-Rabi ibn Tsabit.
2. Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan ibn 'Ali ibn Ibrahim, yang terkenal dengan nama al-Muzarra'i.
3. Abu al-Hasan 'Ali ibn 'Abdul Wahid ad-Dinawari.
4. Abu al-Fath 'Abdul Malik ibn Abi al-Qasim al-Karukhi.
5. Abu Sa'ad Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn 'Ali al-Baghdadi.

Beberapa Muridnya
1. al-Hafizh 'Abdul Ghani 'Abdul Wahid ibn 'Ali ibn Surur.
2. Yusuf ibn Farghali ibn 'Abdullah Abu al-Muzhaffar al-Wa'izh.
3. Ahmad ibn 'Abdul Da'im ibn Ni'mah, al-Katib al-Muhaddits.

Pujian 'Ulama terhadap Beliau

Para 'Ulama merasa takjub terhadap kepribadian dan usaha kerasnya yang hebat, sehingga mereka memuji dan menyanjungnya.

Ibn Khalliqan berkata, "Sesungguhnya beliau merupakan simbol pada masanya sekaligus imam dalam bidang hadits dan nasihat. Beliau mengarang dalam banyak bidang ilmu." Lalu Ibn Khaliqan menyebutkan beberapa karangan Ibn al-Jauzi dan melanjutkan, "Secara garis besar, kitab-kitab karyanya hampir tidak terhitung. Beliau telah menulis tentang banyak hal dengan goresan penanya, hingga orang-orang memberikan komentar secara berlebihan dalam hal itu dengan mengatakan, 'Sesungguhnya jika kitab atau buku yang telah ditulisnya dikumpulkan dan lama umur beliau dihitung, lalu jumlah buku hasil tulisannya dibagi dengan umur beliau, maka hasilnya tidak kurang dari sembilan buku yang beliau tulis dalam sehari'."

adz-Dzahabi berkomentar dalam at-Tarikh al-Kabir, "Menurut kami, Ibn al-Jauzi tidak digelari sebagai seorang hafizh hadits berdasarkan keahliannya menghafal hadits, tapi didasarkan banyaknya ilmu yang dia miliki dan karya yang dia tulis."

al-Hafiz ad-Dubaisi meriwayatkan dari Ibn al-Jauzi, "Beliau termasuk orang yang paling mahir dalam berbicara, urutan pembicaraannya paling tertata rapi, paling enak bahasanya, paling bagus dalam memberikan penjelasan, dan diberikan keberkahan pada usia dan amalnya. Beliau meriwayatkan dari banyak 'Ulama, dan masyarakat mendengar pelajaran dari beliau selama lebih dari empat puluh tahun, serta beberapa kali beliau membicarakan karya-karyanya."

Ibn Katsir berkata, "Ibn al-Jauzi memiliki keistimewaan tersendiri dalam tehnik memberikan nasihat yang belum pernah disamai oleh seorang pun dan ambisinya dalam bidang ini belum ada yang menyamainya; juga dalam metodenya, bicaranya, kemanisan untaian kalimatnya, kemanjuran nasihatnya, kedalaman pembahasannya mengenai makna-makna yang indah, pendekatan yang beliau lakukan terhadap hal-hal
asing dan perkara-perkara indrawi yang bisa dilihat melalui ungkapan yang ringkas lagi cepat dipahami dan dimengerti, dimana beliau menggabungkan banyak makna dalam satu kalimat ringkas."

Demikian biografi singkat dari al-Imam al-Alamah al-Hafizh asy-Syaikh Ibn al-Jauzi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai beliau dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabbnya. Amiin.

* Untuk memperdalam lagi wawasan tentang biografi Ibn al-Jauzi, silahkan lihat:
- Dzail Thabaqaat al-Hanaabilah karya Ibn Rajab [I/399-433]
- Tadzkirah al-Huffaazh karya adz-Dzahabi [1342]
- al-Bidaayah wa an-Nihaayah [13/28-30]
- Thabaqaat al-Mufassiriin karya as-Suyuthi [50]



8.1.12

Tabi'in : Syaikh Muhammad ibn Sirin rahimahullah

Nama Lengkap

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Sirin al-Anshary, beliau adalah seorang ahli fiqh yang zuhud dan tekun beribadah, ayahnya bekas sahaya Anas ibn Malik radhiyallahu 'anhu yang membelinya dari Khalid ibn al-Walid radhiyallahu 'anhu yang menawannya di 'Ain at-Tamr di gurun pasir Iraq dekat al-Anbar. Sebelumnya Anas menjanjikan kebebasan bagi budaknya itu bila Sirin membayar sejumlah uang. Sirin melunasinya dan bebaslah ia. Ibu Muhammad ibn Sirin bernama Shaffiyah yang pernah menjadi sahaya Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

Syaikh Muhammad ibn Sirin rahimahullah lahir 2 tahun menjelang berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Utsman ibn 'Affan radhiyallahu 'anhu. Beliau sempat bertemu dengan 30 orang Sahabat Nabi, tetapi tidak pernah melihat Abu Bakar ash-Shiddiq dan Abu Dzar al-Ghiffari radhiyallahu 'anhuma. Beliau juga tidak mendengar langsung hadits dari Ibn Abbas atau Abu Darda' atau Imran ibn Hushain, atau Sayyidah 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma. Namun beliau meriwayatkan dari beberapa hadits musnad dari Zaid ibn Tsabit, Anas ibn Malik, Abu Hurairah, Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallahu 'anhuma dan beberapa lainnya.

Di antara orang yang meriwayatkan dari Ibn Sirin adalah asy-Sya'bi, al-Auza'i, 'Ashim al-Ahwal, Malik ibn Dinar dan Khalid al-Hadzdza.

Hisyam ibn Hisan rahimahullah berkata tentangnya: "Dia orang paling jujur yang pernah aku jumpai."

Abu Awanah rahimahullah berkata, "Aku pernah melihat Ibn Sirin dan tak seorangpun melihatnya tanpa sedang berdzikir kepada Allah Ta'ala."

Abu Sa'ad rahimahullah berkata, "Dia dipercaya memang teguh amanat, tinggi kedudukannya dan banyak ilmunya."

Wafatnya

Syaikh Muhammad ibn Sirin rahimahullah wafat pada tahun 110 H.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai Muhammad ibn Sirin dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabbnya. Amiin.



Sahabat Nabi : 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma

'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma dilahirkan tidak lama setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Beliau adalah putra khalifah ke-2 Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, saudara kandung Hafshah Ummul Mu'minin radhiyallahu 'anha. Beliau salah seorang di antara orang-orang yang bernama 'Abdullah (al-'Abadillah al-Arba'ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain ialah 'Abdullah ibn Abbas, 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-Ash dan 'Abdullah ibn az-Zubair radhiyallahu 'anhuma.

KeIslaman 'Abdullah ibn Umar

'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu masuk Islam saat umurnya 10 tahun ketika ikut masuk bersama ayahnya, Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu. Kemudian mendahului ayahnya beliau hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud usia beliau 13 tahun dan masih terlalu kecil untuk ikut perang, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengizinkannya. Perang pertama yang beliau ikuti adalah perang Khandaq. Beliau ikut berperang bersama Ja'far ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pada perang Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan Makkah (Fathu Makkah).

Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal, beliau mengikuti peperangan lainnya, seperti perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan Bashrah dan Madain.

Keutamaan 'Abdullah ibn Umar

'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma adalah seorang yang dikaruniai Allah Subhanahu wa Ta'ala kefaqihan (kedalaman pemahaman) dalam ilmu-ilmu mengenai dienullah al-Islam. Beliau juga terkenal seorang yang zuhud (tidak terikat hati dengan dunia) dan 'abid (rajin ber-ibadah kepada Allah).

Sewaktu masih muda belia, 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma berangan-angan seandainya beliau dapat bermimpi sesuatu yang menyebabkan dirinya punya alasan untuk berkonsultasi langsung kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau iri melihat seorang yang menceritakan mimpinya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kisahnya disampaikan di dalam hadits di bawah ini oleh dirinya sendiri:

Dari 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: Apabila ada seseorang yang bermimpi pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia pun akan menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah, hingga saya juga ingin sekali bermimpi dan menceritakannya kepada beliau. Ketika remaja, pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, saya pernah tertidur di masjid. Dalam tidur itu saya bermimpi bahwa ada dua malaikat yang menangkap saya dan membawa saya ke neraka yang tepinya berdinding seperti sumur dengan dua tali seperti tali sumur. Ternyata di dalam sumur tersebut ada beberapa orang yang saya kenal dan segera saya ucapkan: 'Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka.' Tak lama kemudian, kedua malaikat tersebut ditemui oleh satu malaikat lain dan ia berkata kepada saya: 'Kamu akan aman.' Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepada Hafshah radhiyallahu 'anha dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Sebaik-baik orang adalah 'Abdullah ibn Umar
radhiyallahu 'anhuma, jika ia berkenan melaksanakan shalat di sebagian malam.' Salim radhiyallahu 'anhu berkata: 'Setelah itu 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma tidak pernah tidur di malam hari kecuali sebentar.' (Muslim [4528]).

Berdasarkan hadits di atas kita dapat melihat betapa kedekatan 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga beliau dikaruniai Allah nikmat berupa mimpi yang semakin mendorongnya untuk lebih banyak lagi beribadah. Dalam hal ini ibadah shalat malam atau shalat Tahajjud. Beliau memang terkenal seorang 'abid, tetapi rupanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki agar beliau menjadi seorang 'abid yang lebih baik lagi sehingga beliau didorong untuk membiasakan dirinya tidak melewati malam kecuali dengan menegakkan shalat Tahajjud. Beliau akhirnya menjadi seorang hamba Allah yang tidak tidur di malam hari kecuali sedikit saja. Sisanya beliau habiskan waktu malamnya untuk ber-khalwat (berdua-duaan) dengan Rabbnya.

Ilmu Ibn Umar radhiyallahu 'anhuma menjadi rujukan bagi 'Ulama-ulama pada masanya dan setelahnya. az-Zuhri rahimahullah tidak pernah meninggalkan pendapat Ibn Umar untuk beralih kepada pendapat orang lain.

Imam Malik dan az-Zuhri rahimahullah berkata: "Sungguh, tak ada satupun dari urusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibn Umar."

Perawi Hadits

'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma adalah seorang perawi hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam paling banyak sesudah Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau meriwayatkan 2.630 hadits. Hal ini dikarenakan beliau selalu mengikuti kemana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pergi. Bahkan 'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah memujinya dan berkata: "Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibn Umar".

Beliau bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, beliau senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karenanya beliau tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya beliau memberi fatwa pada musim haji dan pada kesempatan lain.

'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan hadits dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, 'Utsman ibn Affan, 'Aisyah Ummul Mu'minin, saudari kandungnya Hafshah dan 'Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhuma. Yang meriwayatkan dari Ibn Umar banyak sekali, di antaranya Sa'id ibn al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Ibn Syihab az-Zuhri, Ibn Sirin, Nafi', Mujahid, Thawus dan Ikrimah.

Sanad paling shahih yang bersumber dari Ibn Umar adalah yang disebut Silsilah adz-Dzahab (silsilah emas), yaitu Malik, dari Nafi', dari 'Abdullah ibn Umar. Sedang yang paling Dhaif, Muhammad ibn 'Abdullah ibn al-Qasim dari bapaknya, dari kakeknya, dari Ibn Umar.

Wafatnya

'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhuma hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau kehilangan penglihatannya pada masa tuanya. Beliau wafat pada tahun 73 H pada usia 84 tahun, dan merupakan salah satu Sahabat paling akhir yang meninggal di Makkah. Ada yang mengatakan bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf menyusupkan seorang ke rumahnya yang lalu membunuhnya. Dikatakan mula-mula diracun kemudian ditombak dan direjam. Pendapat lain mengatakan bahwa Ibn Umar meninggal secara wajar.

Abu Salamah ibn 'Abdurrahman mengatakan: "Ibn Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibn Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding dengan dia."

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai 'Abdullah ibn Umar dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabbnya. Amiin.



5.1.12

Tabi'in : Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah, Khulafaur Rasyidin ke-5

Nama Lengkap dan Nasab

Nama lengkap beliau adalah Umar ibn 'Abdul Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam ibn Abu al-'Ash ibn Umayyah ibn 'Abdusy Syams ibn 'Abdi Manaf ibn Qushay al-Qurasyi al-Umawi. Beliau dilahirkan di Halawan, sebuah kampung yang terletak di Mesir tahun 61 H/682 M, pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu'awiyah.

Ayahnya adalah 'Abdul Aziz ibn Marwan yang menjabat gubernur Mesir. 'Abdul Aziz merupakan laki-laki yang shalih dan baik pemahaman agamanya. Beliau merupakan murid dari Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.

Sedangkan ibu dari Umar ibn 'Abdul Aziz adalah Laila (Ummu 'Ashim) binti 'Ashim ibn Umar ibn al-Khaththab. 'Ashim ibn Umar adalah laki-laki dengan perawakan tegap dan jangkung, dan merupakan salah seorang yang mulia di kalangan Tabi'in. Ia sering meriwayatkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu.

Ada hal yang menarik mengenai kisah pernikahan 'Ashim ibn Umar, kisah ini cukup penting karena dampak kejadian ini membekas kepada keturunannya, yakni Umar ibn
'Abdul Aziz rahimahullah.

Cerita ini dikisahkan oleh 'Abdullah ibn Zubair ibn Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan: Suatu malam aku sedang menemani Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berpatroli di Madinah. Ketika Umar merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, "Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air." Maka putrinya menjawab, "Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mu'minin hari ini?" Ibunya bertanya, "Wahai putriku, apa maklumatnya?" Putrinya menjawab, "Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air." Ibunya berkata, "Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar." Maka gadis itu menjawab, "Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka." Sementara Umar radhiyallahu 'anhu mendengar semua perbincangan tersebut. Maka beliau berkata, "Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini." Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.

Di pagi hari Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami?" Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar radhiyallahu 'anhu. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Adakah di antara kalian yang ingin menikah?" 'Ashim menjawab, "Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku." Maka Umar radhiyallahu 'anhu meminang gadis itu dan menikahkannya dengan 'Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar ibn 'Abdul Aziz.

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bermimpi, kemudian beliau menceritakan mimpinya itu kepada keluarganya, "Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan kedzaliman." 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Sesungguhnya keluarga al-Khaththab mengira bahwa Bilal ibn 'Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya." Seluruh keluarga Umar ibn al-Khaththab semula mengira bahwa Bilal ibn 'Abdullah ibn Umar adalah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian menghadirkan Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah.

Ciri-Ciri Fisik

Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah berkulit cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda.

Ada pula yang mengatakan, beliau berkulit putih, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping dan berjenggot rapi.

Kehidupan Umar ibn 'Abdul Aziz

Sejak kecil Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah sangat rajin menuntut ilmu dan sudah hafal al-Qur'an. Suatu hari, beliau pernah mengunjungi 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu. Sepulangnya dari kunjungan tersebut beliau pun berkata kepada ibunya, "Ibu! Aku ingin sekali menjadi seperti kakek 'Abdullah ibn Umar", hal itu beliau katakan berulang-ulang. (Lihat al-Atsar al-Waridah An Umar ibn 'Abdul Aziz fi al-'Aqidah [1/56]).

Kemudian beliau merantau ke Madinah untuk berguru pada 'Ulama-ulama di sana. Beliau mendapat bimbingan langsung dari 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu dan beliau juga banyak belajar agama dari para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya. Sehingga menjadikan beliau seorang yang ahli ibadah, penghafal hadits, dan zuhud.

Di antara para 'Ulama yang pernah menjadi guru beliau adalah Shalih ibn Kaisan dan 'Ubaidillah ibn 'Abdullah ibn Utbah ibn Mas'ud. Beliau sangat terinspirasi oleh keluhuran budi pekerti keduanya. (Lihat Tahdzib at-Tahdzib [7/22]. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 20).

Juga Sa'id ibn al-Musayyab, Salim ibn 'Abdullah ibn Umar dan masih banyak lagi yang lainnya. Kesemuanya berjumlah 33 orang yang terdiri 8 orang dari kalangan Sahabat dan 25 orang dari Tabi'in. (Musnad Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 33. Lihat al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 20).

Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah tinggal di Madinah sampai kematiannya ayahnya, 'Abdul Aziz ibn Marwan. Kemudian beliau dipanggil ke Damaskus oleh Khalifah 'Abdul Malik ibn Marwan dan dinikahkan dengan anak perempuannya yaing bernama Fathimah. Setelah 'Abdul Malik ibn Marwan meninggal dunia, maka kekhalifahan diteruskan oleh putra tertuanya, al-Walid ibn 'Abdul Malik.

Pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 87 H/706 M, Khalifah al-Walid ibn 'Abdul Malik mengeluarkan keputusan resmi, mengangkat Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah sebagai gubernur untuk wilayah Madinah dan Thaif (Hijaz). Begitu mengetahui dirinya terpilih, Umar ibn 'Abdul Aziz tidak langsung menerima mandat tersebut, melainkan mengajukan tiga persyaratan, jika ditolak beliau memilih mengundurkan diri dan jika dikabulkan beliau segera bertolak berangkat menuju Madinah.

Ketiga syarat itu ialah:
1. Beliau diberi kebebasan untuk menegakkan kebenaran dan memutuskan perkara dengan asas keadilan di wilayah kekuasaan barunya, serta diberi kelonggaran untuk tidak memaksa seorang pun agar membayar pajak ke Baitul Mal, bagi mereka yang memang mempunyai kewajiban untuk membayar. Tentunya hal ini berimbas pada sedikitnya pajak yang akan disetorkan ke pusat pemerintahan.
2. Diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji di tahun pertama kerjanya, kebetulan Umar ibn 'Abdul Aziz saat itu belum menunaikan rukun Islam kelima.
3. Diberi keluasan untuk berderma kepada penduduk Madinah tanpa terkecuali.

Begitu syarat ini dikabulkan oleh Khalifah al-Walid, Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah pun bertolak ke Madinah. Sedangkan di Madinah sendiri luapan kegembiraan penduduknya -yang mengetahui bahwa gubernur baru mereka adalah Umar ibn 'Abdul Aziz- sedang menunggu menyambutnya. (Lihat Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 41-42).

Sesampainya di Madinah, hal yang pertama kali dilakukan Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah adalah membentuk Majlis Syura yang beranggotakan sepuluh 'Ulama Madinah. Mereka antara lain: Urwah ibn Zubair, Ubaidullah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah, Abu Bakar ibn 'Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam, Abu Bakar ibn Sulaiman ibn Abu Khaitsamah, Sulaiman ibn Yasar, Qasim ibn Muhammad, Salim ibn 'Abdullah ibn Umar, 'Abdullah ibn 'Abdullah ibn Umar, 'Abdullah ibn 'Amir ibn Rabi'ah dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit. Lalu Umar ibn 'Abdul Aziz pun berbicara di hadapan mereka, "Aku memanggil kalian semua untuk sebuah kepentingan yang kalian akan diberi balasan karenanya dan mengajak kalian untuk berjibaku serta bahu membahu menegakkan kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan satu perkara pun melainkan berdasarkan pendapat kalian atau salah satu dari kalian. Jika kalian mendapati seseorang berbuat aniaya atau menjumpai salah satu pegawaiku berbuat dzalim, beritahukanlkah padaku." (ath-Thabaqat [5/257]. Lihat al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 24).

Di bawah pemerintahan Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah, Madinah berubah menjadi makmur dan sentosa. Salah satu prestasi kerjanya adalah perluasan Masjid Nabawi dengan panjang dan lebar: 200 X 200 hasta (Menurut Mu'jam Lughah al-Fuqaha panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan al-Mu'jam al-Wasath 64 cm), kemudian menghiasinya -meskipun sebenarnya Umar ibn 'Abdul Aziz sendiri tidak menyukai hal tersebut- berdasarkan perintah langsung dari Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik. (Mausu'ah Fiqh Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Muhammad Rawwas Qal'aji. Lihat al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 25).

Banyak 'Ulama Madinah yang menolak perluasan Masjid Nabawi, karena perluasan tersebut mengakibatkan rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ikut dipugar. Sa'id ibn al-Musayyab berkata: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana."

Dan pada tahun 92 H, Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah mengundurkan diri dari jabatan gubernur disebabkan penyesalannya yang begitu mendalam karena telah memberi hukuman yang berujung kematian pada Khubaib ibn 'Abdullah ibn Zubair. Dan hal itu selalu terngiang-ngiang di benaknya hingga ajal menjemputnya. (Selengkapnya silahkan baca Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 43-44).

Sedangkan Ibn Jarir dan yang lainnya menyebutkan, sebenarnya Umar ibn 'Abdul Aziz dibebastugaskan dari jabatan gubernur, karena "perang urat syaraf" yang terjadi antara beliau dan Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa yang dzalim. Dan khalifah al-Walid ibn 'Abdul Malik sendiri lebih condong untuk menempuh jalan politik pemerintahan ala Hajjaj. (Tarikh ath-Thabari [7/383]. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 27).

Dikisahkan ketika Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah keluar meninggalkan Madinah, beliau menangis tersedu. Sesaat kemudian menoleh ke belakang, ke arah Madinah, seraya berkata kepada pembantunya, "Hai Muzahim! Aku khawatir terhadap diriku sendiri. Jangan-jangan aku termasuk orang yang difilter Madinah" (al-Bidayah wa an-Nihayah [12/683] dan Sirah Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Ibn 'Abdul Hakam hal. 28, dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 28), sambil mengisyaratkan pada sebuah hadits, 'Ketahuilah! Madinah itu seperti pandai besi yang sedang membersihkan karat. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi sampai Madinah ini memfilter penduduknya yang jelek, sebagaimana pandai besi membersihkan karat (yang menempel di besi)'. (HR. Muslim [1381]. Lihat juga Sahih Bukhari hadits [1883] dan [1884]).

Masa Kekhalifahan

Pada tahun 716 M, Khalifah Sulaiman ibn 'Abdul Malik wafat. Sebelum wafatnya, ia telah menuliskan surat wasiat yang isinya agar mengangkat Umar ibn 'Abdul Aziz sebagai khalifah sepeninggalnya dan Yazid sebagai pengganti setelah Umar. (Lihat Tarikh ath-Thabari [7/445] dan ath-Thabaqat karya Ibn Sa'ad [5/335-338]).

Akhirnya Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah dibai'at sebagai khalifah pada hari Jum'at sepuluh hari terakhir bulan Shafar tahun 99 H. (al-Bidayah wa an-Nihayah [12/657]).

Di dalam memimpin negara, beliau sangat menjunjung tinggi asas keadilan, tidak ada yang lebih penting dari itu. Disamping itu beliau juga berusaha menunaikan kewajibannya sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya dan menunaikan hak rakyat sebagaimana mestinya. Beliau berusaha agar tidak seorang pun -yang hidup di bawah pemerintahannya- merasa haknya terdzalimi, bahkan binatang pun tak luput dari perhatian beliau. (Lihat Al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 59).

Sebegitu besar sifat amanah yang dimilikinya sampai-sampai ketika ada seseorang yang bertanya, "Wahai Amirul Mu'minin! Kenapa engkau tampak bersedih?". Beliau menjawab, "Siapa pun yang berada di posisiku sekarang ini pasti akan bersedih." "Tidak seorang pun dari rakyatku kecuali aku ingin menunaikan haknya sebagaimana mestinya, meskipun ia tidak memintanya," lanjutnya. (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/132]).

Lalu mengutarakan alasan kenapa beliau bersedih, "Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, tapi justru akulah yang paling berat beban dan tanggung jawabnya." (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/132]).

Keadilan, amanah dan tanggung jawabnya menjadikan rakyatnya hidup dalam kedamaian, aman, makmur dan sentosa. Hal itu terbukti dengan sedikitnya para penerima zakat di era pemerintahannya. Pernah seseorang mengeluarkan zakat dengan jumlah yang sangat besar, namun ketika ia mencari orang-orang yang berhak menerimanya, ia kembali dengan zakat masih utuh seperti semula. (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/132]).

Pada masa pemerintahannya, beliau berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mewujudkan masyarakat yang madani. Karena itu banyak ahli sejarah yang menyebut Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5.

al-Walid ibn Muslim menceritakan bahwa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata, "Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi: 'Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah bai'at kepadanya karena dia adalah pemimpin yang adil'. Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar ibn 'Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi bai'at kepadanya."

Qais ibn Jabir berkata, "Perbandingan Umar ibn 'Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Fir'aun."

Hassan al-Qishab telah berkata, "Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar ibn 'Abdul Aziz."

Umar ibn Asid telah berkata, "Demi Allah, Umar ibn 'Abdul Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai: 'Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mau'. Tetapi tiada yang mau menerimanya (karena semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya."

'Atha' telah berkata, "Umar ibn 'Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha' setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis karena takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenazah di antara mereka."

Istri-Istri dan Putra-Putri Umar ibn 'Abdul Aziz

Istri pertamanya adalah wanita yang shalihah dari kalangan Bani Umayyah, ia merupakan putri dari Khalifah 'Abdul Malik ibn Marwan yaitu Fathimah. Ia memiliki nasab yang mulia, putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar ibn 'Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana.

Istrinya yang lain adalah Lamis binti 'Ali, Ummu 'Utsman binti Syu'aib, dan Ummu Walad.

Dari istri-istrinya tersebut, Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah mempunyai beberapa orang anak, di antara mereka adalah 'Abdul Malik, 'Abdul Aziz, 'Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Bakar, al-Walid, Musa, 'Ashim, Yazid, Zaban, 'Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu 'Abdillah.

Keutamaan Umar ibn 'Abdul Aziz

Paling Takut Kepada Allah

Dari al-Mughirah ibn Hukaim, dia berkata: Fathimah binti 'Abdul Malik ibn Marwan, dia berkata kepadaku, "Wahai Mughirah, mungkin saja ada orang yang lebih baik shalat dan puasanya daripada Umar ibn 'Abdul Aziz, akan tetapi aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih banyak takut dan lebih banyak menangis di hadapan Tuhannya daripada Umar ibn 'Abdul Aziz. Jika dia masuk ke rumahnya, dia langsung bersujud, dia terus saja menangis hingga kedua matanya tertidur, kemudian terbangun dan menangis lagi dan lagi. Dia menghabiskan sebagian besar malamnya seperti itu."

Ibadahnya

Dari Zaid ibn Aslam bahwa Anas ibn Malik radhiyallahu 'anhu telah berkata, "Aku tidak pernah menjadi ma'mum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mana shalat imam tersebut menyamai shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan daripada Umar ibn 'Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah gubernur Madinah."

Keilmuannya

Para ahli yang menulis biografi Umar ibn 'Abdul Aziz sepakat bahwa beliau termasuk salah satu Imam (panutan dalam ilmu pengetahuan) di zamannya, sebagaimana ditegaskan Malik dan Sufyan ibn Uyainah (Lihat al-Atsar al-Waridah An Umar ibn 'Abdul Aziz [1/67]). Di samping itu beliau juga digelari al-'Allamah (yang luas ilmunya), al-Mujtahid (ahli Ijtihad), dan al-Hafidz (panutan dalam ilmu hadits). (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/114]).

Mujahid pernah bercerita: "Dulu kami pernah mendatangi Umar ibn 'Abdul Aziz karena ingin mengajarinya beberapa hal, namun justru kamilah yang diajarinya." (Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar [7/419]).

Maimun ibn Mihran juga pernah berkomentar: "Di hadapan Umar ibn 'Abdul Aziz, para 'Ulama hanyalah bagaikan murid." (Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar [7/419]. Lihat juga al-Bidayah wa an-Nihayah [12/682] dan Siyar A'lam an-Nubala' [5/120]).

Bahkan para 'Ulama lain pun tidak segan-segan berhujjah dengan perkataan dan perbuatan beliau. Di antaranya: Laits ibn Sa'id ketika menulis surat untuk Malik ibn Anas menyebutkan nama beliau berkali-kali untuk menguatkan pendapatnya sendiri dalam beberapa persoalan. (Lihat al-Atsar al-Waridah An Umar ibn 'Abdul Aziz [1/70]).

Lebih dari itu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad sering menyebut nama beliau dalam beberapa kitab mereka. (Selengkapnya silahkan baca al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 22).

Imam Ahmad berkomentar: "Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan Tabi'in yang perkataannya dijadikan hujjah selain Umar ibn 'Abdul Aziz. Dan ini cukup (sebagai saksi akan keilmuan beliau)." (Lihat al-Bidayah wa an-Nihayah [12/677]).

Beliau melanjutkan: "Jika engkau mendapati seseorang yang mencintai Umar ibn 'Abdul Aziz, lalu menyebut-nyebut kebaikan dan menyebarkannya. Ketahuilah di balik itu semua ada kebaikan (yang menunggu), insya Allah." (Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 74).

Kezuhudannya

Dari Maslamah ibn 'Abdul Malik, dia berkata, Aku menemui Umar ibn 'Abdul Aziz untuk menjenguknya karena sakit. Saat itu dia mengenakan baju yang sudah jelek dan kotor, kemudian aku berkata kepada Fathimah binti 'Abdul Malik, istrinya, "Wahai Fathimah, cucilah baju Amirul Mu'minin." Sang istri berkata, "Insya Allah akan aku lakukan." Selang beberapa waktu, aku pun kembali menjenguknya dan ternyata bajunya masih yang itu juga, sehingga aku pun berkata kepada istrinya, "Wahai Fathimah, tidakkah aku telah memintamu untuk membersihkan dan mengganti pakaian Amirul Mu'minin, karena banyak warga yang ingin menjenguknya?" Fathimah berkata, "Demi Allah, dia tidak mempunyai baju yang selain itu."

Dari Malik ibn Dinar, dia berkata: Orang-orang berkata, "Malik ibn Dinar adalah orang yang zuhud," akan tetapi sebenarnya orang yang bisa dikatakan zuhud itu adalah Umar ibn 'Abdul Aziz yang dikaruniai kemewahan dunia dengan segala isinya akan tetapi dia memilih untuk meninggalkannya."

Kewara'annya

Ja'wanah berkata, "Ketika 'Abdul Malik ibn Umar ibn 'Abdul Aziz meninggal dunia, Umar ibn 'Abdul Aziz terlihat bersyukur karenanya. Kemudian, sesorang berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu'minin, jika dia masih hidup, apakah anda akan mengangkatnya sebagai putra mahkota?" Dengan tegas Umar menjawab, "Tidak." Orang itu bertanya lagi, "Mengapa tidak, dan anda malah bersyukur atas kematiannya?" Dia menjawab, "Aku takut dia akan menjadi perhiasan di mataku (yang dapat menghalanginya dari kebenaran), seperti perhiasan seorang anak pada orang tuanya."

Dari Yahya ibn Said, dia berkata, "Abdul Humaid ibn 'Abdurrahman menulis sepucuk surat kepada Umar ibn 'Abdul Aziz. Dalam suratnya itu dia berkata, "Sesungguhnya telah ada pengaduan kepadaku tentang seseorang yang mencaci anda, kemudian aku berniat membunuhnya. Akan tetapi, aku membatalkannya hingga akhirnya aku berinisiatif menulis surat kepada anda untuk meminta pendapat anda." Umar ibn 'Abdul Aziz berkata, "Seseorang tidak berhak untuk dibunuh hanya karena mencaci orang lain, kecuali yang mencaci Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Jadi, caci makilah dia jika kamu menginginkannya, kemudian
lepaskan."

Kerendahan Hatinya

Dari Raja' ibn Haiwah, dia berkata, "Aku pernah begadang malam bersama Umar ibn 'Abdul Aziz, tiba-tiba lampu padam. Lalu aku bergegas untuk berdiri dan memperbaikinya, akan tetapi Umar ibn 'Abdul Aziz melarangku. Setelah itu, dia memperbaikinya sendiri dan duduk kembali, lalu dia berkata, "Jika kamu duduk, maka aku tetap Umar ibn 'Abdul Aziz (orang biasa yang tak perlu diistimewakan). Dan jika kamu berdiri, maka aku juga tetap Umar ibn 'Abdul Aziz dan celakalah seseorang yang memperkerjakan tamunya."

Wafatnya

Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah meninggal dunia di Dir Sam'an, pada tanggal 10 atau 5 bulan Rajab tahun 101 Hijriyah akibat diracun oleh pembantunya. Saat itu beliau genap berusia 39 tahun 6 bulan. Beliau meninggal setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan. Namun, di balik masa pemerintahannya yang singkat tersebut, beliau telah berbuat banyak untuk peradaban manusia dan Islam secara khusus.

Ibn al-Jauzi dalam kitab
sirah-nya, dia berkata: Ada yang memberitahukan kepadaku bahwa al-Manshur berkata kepada 'Abdurrahman ibn al-Qasim, "Berilah aku nasehat!" Dia berkata, "Dengan apa yang pernah aku lihat atau dengan apa yang pernah aku dengar?" Dia berkata, "Dengan apa yang pernah yang anda lihat." Dia berkata, "Umar ibn 'Abdul Aziz meninggal dunia, dengan meninggalkan 11 putra, harta warisannya 17 dinar. Harta itu lalu digunakan mereka untuk membeli kain kafan 5 dinar dan kuburannya 2 dinar. Dan yang tersisa dibagikan kepada semua anggota keluarga dan setiap mereka mendapat 19 dirham. Hisyam ibn 'Abdul Malik meninggal dunia, dia meninggalkan 11 putera, harta warisannya dibagikan kepada anak-anaknya itu dan masing-masing mendapatkan ribuan dinar. Dan aku pernah melihat seorang lelaki dari keturunan Umar ibn 'Abdul 'Aziz membawa seratus kuda perang untuk dishadaqahkan guna dipakai berperang di jalan Allah dalam satu hari, dan aku melihat seorang lelaki dari keturunan Hisyam ibn 'Abdul Malik diberikan shadaqah (karena sudah jatuh miskin)."

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai Umar ibn 'Abdul Aziz, dan menempatkan beliau kepada kedudukan yang tinggi di sisi Rabbnya. Amiin.

* Biografi Umar ibn 'Abdul Aziz selengkapnya lihat kitab-kitab berikut:
- al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Ibn Katsir
- Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Ibn al-Jauzi



4.1.12

Ahlul Bait : al-Imam as-Sayyid al-Hasan radhiyallahu 'anhuma

Nama Lengkap

Nama lengkap beliau adalah al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib ibn 'Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn 'Abdi Manaf ibn Qushay al-Qurasyi al-Hasyimiy. Kunyahnya adalah Abu Zaid. Beliau adalah seorang imam yang mulia, cucu kesayangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di samping al-Husain radhiyallahu 'anhuma. Ayahnya adalah 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan ibunya yaitu Fathimah binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama al-Hasan pertama kali digunakan untuk beliau dan diberikan langsung oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mempunyai banyak gelar, di antaranya adalah al-Imam as-Sayyid, Raihanatu Rasulullah, serta Sayyidu Sabab Ahlul Jannah (pemimpin pemuda ahli surga), beliau juga bergelar Abu Muhammad al-Qurasyi al-Hasymi al-Madani asy-Syahid.

Beliau dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun ke-3 dari hijrahnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ada juga yang mengatakan beliau dilahirkan pada pertengahan bulan Ramadhan, dan beliau di-aqiqahi langsung oleh Rasulullah dan juga memotong rambutnya, sebagaimana yang tertera dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih: "Rasulullah meng-aqiqahi al-Hasan dengan domba, dan juga kepada al-Husain." (HR. Abu Daud [2841]).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mencintai dan menyayangi kedua cucunya ini.

Dari 'Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang al-Hasan dan al-Husain, "Mereka berdua adalah dua orang anakku. Barangsiapa mencintai mereka berdua, berarti mencintai aku, dan barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku."

Bahkan Rasulullah pernah mendo'akannya kepada Allah yang tidak pernah seorangpun pernah mendapat do'a seagung ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintailah orang-orang yang mencintainya." (HR. Tirmidzi [3782]).

al-Hasan dan al-Husain adalah penghulu dari para pemuda di surga.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Sahabat Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, "Wahai Hudzaifah sesungguhnya telah datang Jibril kepadaku, dia menyampaikan kabar gembira kepadaku, bahwa kedua cucuku ini (al-Hasan dan al-Husain) penghulu pemuda di surga." (Diriwayatkan oleh Ahmad [4/172], Ibn Majah [3666], Baihaqi, dalam kitab Asma' wa Sifat [164]).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya siapakah orang yang paling beliau cintai dari keluarga beliau. Beliau bersabda, "al-Hasan dan al-Husain." (Diriwayatkan oleh Tirmidzi [3772]).

Kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada cucunya al-Hasan ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma terlihat jelas bahkan ketika beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan shalat, yang mana ketika itu al-Hasan naik ke punggung Rasulullah ketika dalam keadaan sujud, akan tetapi Rasulullah menunggunya hingga ia pergi dan menyingkir dari punggung Rasulullah tersebut, dan setelah selesai menjalankan shalat para Sahabat berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, engkau lama dalam sujud, ada apa gerangan?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya cucuku menaikiku, dan aku tidak suka apabila aku mendorongnya sampai ia selesai melaksanakan hajatnya kepadaku." (Dalam Musnad [3/493-494], Nasa'i [2/229-230]). Dan dalam riwayat lain Sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, engkau sungguh sangat menyayangi anak ini yang tidak engkau lakukan kepada yang lainnya."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata tentang al-Hasan dan al-Husain radhiyallahu 'anhuma, "al-Hasan adalah seperti aku dan al-Husain seperti 'Ali." (Mu'jam Thabrani [2622]).

al-Hasan ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma adalah sosok yang sangat dermawan, ketaqwaannya adalah yang terbaik di zamannya, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa 'al-Hasan adalah orang yang akan menjadi penyelesai masalah antara dua kelompok kaum Muslimin.

Dari Abi Ishaq, dari Haritsah, beliau berkata bahwa 'Ali radhiyallahu 'anhu pernah berseru, "Wahai manusia sesunguhnya al-Hasan telah mengumpulkan harta yang banyak, dan ia ingin membagikannya kepada kalian." Maka berdatanganlah manusia, kemudian al-Hasan berkata, "Sesungguhnya aku mengumpulkan harta selama ini hanya untuk orang faqir miskin." (Tahjib Ibn Asakir [4/217]).

Diriwayatkan bahwa al-Hasan radhiyallahu 'anhuma pernah membagi-bagikan hartanya seluruhnya sebanyak dua kali dan membagikan sebagian dari hartanya sebanyak tiga kali. (Siyar A'lam Nubala' [3/267]).

Bahkan beliau pernah memberi hadiah kepada orang yang telah melengserkan beliau dari kekhalifahan yaitu Mu'awiyah ibn Abu Sufyan radhiyallahu 'anhu dengan hadiah yang tidak pernah beliau berikan kepada seorangpun yaitu 400.000 dinar.

Diriwayatkan dari Mughayyirah ibn Muqsim dari Ummu Musa bahwasanya al-Hasan radhiyallahu 'anhuma apabila beranjak hendak ke tempat tidurnya beliau menuntaskan membaca surat al-Kahfi terlebih dahulu sebelum tidur.

Bahkan diriwayatkan bahwa beliau pergi haji sebanyak 15 kali dengan berjalan kaki.

al-Hasan radhiyallahu 'anhuma pernah jatuh sakit selama sebulan, kamudian beliau paksa dirinya agar bisa berkhutbah di depan umum, beliau berkata, "Bertaqwalah kepada Allah, aku adalah pemimpin kalian dan aku juga adalah orang yang paling lemah di antara kalian, dan Allah pernah berfirman tentang kami: 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya'." Maka yang terjadi adalah jama'ah yang mendengar itu semuanya menjadi menangis dan suasana menjadi hiruk pikuk dengan suara tangis yang banyak.

Beliau dikenal di kalangan kawan dan musuh sebagai orang yang pandai dalam bertutur kata dan berdebat, Mu'awiyah pernah berpesan kepada para sahabatnya agar tidak melakukan perdebatan kepada al-Hasan ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma karena kecakapan beliau dan kejeniusan serta mengeluarkan ide secara spontanitas.

al-Hasan radhiyallahu 'anhuma juga dikenal sebagai pemimpin berkat mewarisi tabiat ayahnya yang merupakan seorang Khalifah Rasulullah yang keempat, 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Beliau juga pernah menjabat sebagai khalifah mengantikan ayahnyanya pasca terbunuhnya ayahnyanya di tangan orang munafiq pada tahun 40 H. Saat itu beliau dibai'at lebih dari 40000 orang, akan tetapi dengan pertimbangan kemaslahatan bagi ummat Islam agar tidak terjadinya perpecahan dan pembunuhan serta peperangan di kalangan ummat Islam beliau rela turun dari jabatannya setelah 6 bulan menjabat, kemudian tampuk kekuasaan diserahkan kepada Mu'awiyah ibn Abu Sufyan. Pada tahun itu disebut dengan Amm Jama'ah (Tahun persatuan jama'ah kaum Muslimin).

Maka benarlah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan beliau sebagai penyatu ummat Islam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Cucuku ini adalah pemimpin (sayyid), semoga kelak Allah mendamaikan dengan perantaranya dua kelompok besar kaum Muslimin."

Selama hidupnya, al-Hasan ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma telah meriwayatkan 13 hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau wafat di Madinah pada tahun 50 H, dan jasadnya dimakamkan di Baqi', Madinah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai al-Hasan ibn 'Ali dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabb-Nya. Amiin.




Ahlul Bait : al-Husain radhiyallahu 'anhuma, Pemimpin Pemuda di Surga

Nama Lengkap dan Nasab

Nama lengkap beliau adalah al-Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib ibn 'Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn 'Abdi Manaf ibn Qushay al-Qurasyi al-Hasyimiy. Kunyahnya adalah Abu 'Abdillah. Beliau adalah seorang imam yang mulia, cucu kesayangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di samping al-Hasan radhiyallahu 'anhuma. Ayahnya adalah 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan ibunya yaitu Fathimah binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

al-Husain radhiyallahu 'anhuma dilahirkan pada tanggal 5 Sya'ban tahun ke-4 Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan al-Hasan radhiyallahu 'anhuma, kakaknya, menurut sebagian 'Ulama adalah satu kali masa suci ditambah masa kehamilan. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah [7/149]).

Beberapa Sifat al-Husain

Secara fisik, al-Husain radhiyallahu 'anhuma lebih mirip dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada bagian dada sampai kaki, sementara al-Hasan radhiyallahu 'anhuma lebih mirip dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada wajahnya. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah [8/150]).

Tentang sifat al-Husain radhiyallahu 'anhuma lainnya, antara lain sebagaimana yang dibawakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dari riwayat Sa'id ibn 'Amr, ia berkata: Sesungguhnya al-Hasan radhiyallahu 'anhuma pernah berkata kepada al-Husain radhiyallahu 'anhu: "Betapa ingin aku memiliki sebagian kekerasan hatimu." Lalu al-Husain radhiyallahu 'anhuma menjawab: "Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan lidahmu." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/287]).

Kedudukan al-Husain

al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma adalah seorang Imam di antara imam-imam Ahlussunnah, beliau memiliki kedudukan mulia di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sangat dicintainya.

Dari Ibn Abi Nu'mi rahimahullah, ia berkata: Aku mendengar Ibn Umar radhiyallahu 'anhuma ketika ditanya oleh seseorang (yang datang dari Iraq) tentang hukum orang yang berihram -(kata Syu'bah: saya menduga ia bertanya tentang hukum) membunuh lalat-. Maka Ibn Umar berkata: "(Lihatlah) orang-orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka telah membunuh putra dari putri Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: 'Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia'." (Riwayat al-Bukhari dan lainnya, Fathul Bari [7/95], no. 3753).

adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A'lam Nubala' membawakan riwayat dari Jabir radhiyallahu 'anhu yang ketika melihat al-Husain ibn 'Ali masuk ke dalam Masjid mengatakan: "Barangsiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli surga maka lihatlah al-Husain radhiyallahu 'anhuma ini. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (Lihat Siyar A'lam Nubala [3/282-283]. Dikatakan oleh pen-tahqiq Siyar A'lam Nubala' bahwa para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam Kitab Shahih, kecuali ar-Raba' ibn Sa'd, tetapi ia tsiqah).

Dalam kitab yang sama, adz-Dzahabi rahimahullah juga membawakan riwayat dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelimuti 'Ali, Fathimah serta kedua anaknya (al-Hasan dan al-Husain) dengan sebuah selimut, kemudian beliau bersabda: "Ya Allah, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya." Aku (Ummu Salamah) bertanya: "Apakah aku termasuk mereka?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau menuju kepada kebaikan."

Hadits ini dikatakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari beberapa jalan dari Syahr. Sementara pen-tahqiq mengatakan, hadits itu shahih dengan syawahidnya. (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/283]).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "al-Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya, Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai al-Husain. Dan al-Husain adalah satu ummat di antara ummat-ummat yang lain dalam kebaikannya." (Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ibn Majah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albani [3/539] no. 3775 - Maktabah al-Ma'arif - Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru th. 1420 H/2000 M. Dan Shahih Sunan Ibn Majah karya Syaikh al-Albani [1/64-65] no. 118-143 - Maktabah al-Ma'arif - Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru th. 1417 H/1997 M).

Demikianlah kedudukan al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma. Beliau sempat hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama sekitar 5 tahun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan al-Hasan radhiyallahu 'anhuma hingga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.

Sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab dan 'Utsman ibn Affan radhiyallahu 'anhuma pun sangat mencintai, memuliakan dan mengagungkannya.

Ketika 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu diangkat menjadi khalifah, dan pusat pemerintahan pindah ke Kuffah, al-Husain radhiyallahu 'anhuma ikut bersama ayahnya ke Kuffah. Dan beliau selalu menyertai ayahnya, 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sampai wafatnya. Setelah Aam Jama'ah, yaitu setelah al-Hasan radhiyallahu 'anhuma menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah ibn Sufyan pada tahun 41 H, beliau kemudian menetap di Madinah bersama kakaknya, al-Hasan radhiyallahu 'anhuma.

Pada saat Mu'awiyah ibn Abu Sufyan radhiyallahu 'anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu'awiyah juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan al-Husain radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya.

Begitulah, semua Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memuliakan al-Husain radhiyallahu 'anhuma sebagaimana mereka memuliakan al-Hasan radhiyallahu 'anhuma.

adz-Dzahabi rahimahullah membawakan riwayat dari Ibn al-Muhazzim rahimahullah yang mengatakan: "Pernah kami sedang menghadiri suatu jenazah. Lalu, datanglah Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang dengan bajunya mengibaskan debu-debu yang ada pada kaki al-Husain." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/287]).

Tetapi, ketika Yazid ibn Mu'awiyah diangkat sebagai khalifah, al-Husain radhiyallahu 'anhuma bersama 'Abdullah ibn az-Zubair radhiyallahu 'anhu termasuk yang tidak mau berbai'at kepadanya. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu'awiyah. Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan menuju Makkah. Kemudian keduanya menetap di Makkah.

Wafatnya

Para 'Ulama berselisih pendapat tentang kapan al-Husain radhiyallahu 'anhuma wafat. Tetapi, adz-Dzahabi, Ibn Katsir dan Ibn Hajar al-'Asqalani lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari 'Asyura bulan Muharam tahun 61 H. (Lihat Siyar A'lam Nubala [3/318], al-Bidayah wan Nihayah [8/172], Tahdzab at-Tahdzab [2/356]). Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibn Hajar rahimahullah menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun. (Tahdzab at-Tahdzab [2/356]).

Jauh hari sebelum al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma terbunuh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa al-Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh.

adz-Dzahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di antaranya dari 'Ali radiyallahu 'anhu, beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: "Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa al-Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: 'Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?'. Aku menjawab: 'Ya.' Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/288-289]. Pen-tahqiq kitab ini (Muhammad Na'im al-'Arqasusy dan Ma'man Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah).

Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya al-Awashim minal Qawashim: "Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli Kuffah kepada al-Husain (setelah meninggalnya Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu). Kemudian al-Husain mengirim Muslim ibn 'Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membai'at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu memberitahu
beliau (al-Husain) bahwa mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibn Zubair mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah al-Husain. Sebelum sampai beliau di Kuffah ternyata Muslim ibn 'Aqil telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. "Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau mengambil peringatan" (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibn Abbas kepada al-Husain -pent.). Tetapi beliau radhiyallahu 'anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling 'alim pada zamannya yaitu Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu dan menyalahi pendapat syaikh para Shahabat yaitu Ibn Umar. Beliau mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan. Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah al-Husain, maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan zaman." (Lihat al-Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul 'Arabi dengan tahqiq dan ta'liq Syaikh Muhibbuddin al-Khatib, hal. 229-232).

Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya "Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah al-Husain" adalah bahwa niat al-Husain dengan sebagian kaum Muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan darah al-Husain yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin al-Khatib dalam ta'liq-nya terhadap buku al-Awashim minal Qawashim.

Ketika al-Husain radhiyallahu 'anhuma ditahan oleh tentara Yazid, Samardi al-Jausyan mendorong 'Abdullah ibn Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan al-Husain meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Makkah. Namun mereka tetap membunuh al-Husain dengan dzalim sehingga beliau meninggal dengan syahid.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata: "al-Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan 'Ubaidillah ibn Ziyad di Kuffah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain. Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi' (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi, dan bahwasanya sebagian para Sahabat yang hadir seperti Anas ibn Malik, Abu Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah 'Ubaidillah ibn Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat 'Ubaidillah ibn Ziyad. Adapun 'Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (al-Husain) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibn Ziyad pun dibunuh karena itu. Dan lebih jelas lagi bahwasanya para Sahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abu Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka." (Lihat Majmu' Fatawa [4/507-508]).

'Ubaidillah ibn Ziyad adalah Amir (Gubernur) Bashrah pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu'awiyah dan yang kemudian oleh Yazid diangkat pula sebagai Amir Kuffah menggantikan Nu'man ibn Basyir radhiyallahu 'anhu. 'Ubaidillah ibn Ziyad inilah yang memobilisasi perang melawan al-Husain radhiyallahu 'anhuma, dan bahkan menekan dengan ancaman kepada Umar ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash untuk memeranginya. Meskipun sesungguhnya Umar ibn Sa'ad sangat tidak menyukai tugas ini. Bahkan akhirnya beliau menyesal dan mengatakan: "Tidak ada seorang pun yang pulang kepada keluarganya dengan membawa suatu keburukan sebagaimana yang aku bawa. Aku telah menaati 'Ubaidillah ibn Ziyad, tetapi aku telah durhaka kepada Allah dan telah memutuskan tali silaturrahim." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/300 dan 303]).

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah juga memberikan komentar tentang terbunuhnya al-Husain radhiyallahu 'anhuma sebagai berikut: "Ketika al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma terbunuh pada hari 'Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang dzalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan al-Husain radhiyallahu 'anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja'far, ayahnya yaitu 'Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat al-Husain radhiyallahu 'anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya al-Husain radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya, yaitu al-Hasan radhiyallahu 'anhuma menjadi pemuka para pemuda ahli surga." (Lihat Majma' Fatawa [25/302]).

Pada sisi lain Syaikhul Islam juga mengatakan: "al-Husain radhiyallahu 'anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mati syahid pada hari ('Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membantu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. al-Husain radhiyallahu 'anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya al-Husain radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya (yaitu al-Hasan) radhiyallahu 'anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda ahli surga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap al-Husain radhiyallahu 'anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari'atkan agar hamba-Nya ber-istirja' (mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi raji'un) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya: "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillah wa inna ilaihi raji'un". Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (al-Baqarah: 155-157)." (Lihat Majma' Fatawa [4/511]).

Adapun yang dirajihkan oleh para 'Ulama tentang kepala al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair ibn Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling 'alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala al-Husain dibawa ke Madinah an-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya al-Hasan, paman ayahnya al-Abbas dan anak 'Ali dan yang seperti mereka. (Lihat Majma' Fatawa [4/509]).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma dan mengampuni seluruh dosa-dosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih. Amiin.

Wallahu al-musta'an.



FeedCount

Cari artikel di blog ini

Loading

Ikuti via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Followers

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template