Nama Lengkap dan Nasab
Nama lengkap beliau adalah Umar ibn 'Abdul Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam ibn Abu al-'Ash ibn Umayyah ibn 'Abdusy Syams ibn 'Abdi Manaf ibn Qushay al-Qurasyi al-Umawi. Beliau dilahirkan di Halawan, sebuah kampung yang terletak di Mesir tahun 61 H/682 M, pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu'awiyah.
Ayahnya adalah 'Abdul Aziz ibn Marwan yang menjabat gubernur Mesir. 'Abdul Aziz merupakan laki-laki yang shalih dan baik pemahaman agamanya. Beliau merupakan murid dari Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Sedangkan ibu dari Umar ibn 'Abdul Aziz adalah Laila (Ummu 'Ashim) binti 'Ashim ibn Umar ibn al-Khaththab. 'Ashim ibn Umar adalah laki-laki dengan perawakan tegap dan jangkung, dan merupakan salah seorang yang mulia di kalangan Tabi'in. Ia sering meriwayatkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu.
Ada hal yang menarik mengenai kisah pernikahan 'Ashim ibn Umar, kisah ini cukup penting karena dampak kejadian ini membekas kepada keturunannya, yakni Umar ibn
'Abdul Aziz rahimahullah.
Cerita ini dikisahkan oleh 'Abdullah ibn Zubair ibn Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan: Suatu malam aku sedang menemani Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berpatroli di Madinah. Ketika Umar merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, "Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air." Maka putrinya menjawab, "Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mu'minin hari ini?" Ibunya bertanya, "Wahai putriku, apa maklumatnya?" Putrinya menjawab, "Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air." Ibunya berkata, "Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar." Maka gadis itu menjawab, "Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka." Sementara Umar radhiyallahu 'anhu mendengar semua perbincangan tersebut. Maka beliau berkata, "Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini." Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.
Di pagi hari Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami?" Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar radhiyallahu 'anhu. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Adakah di antara kalian yang ingin menikah?" 'Ashim menjawab, "Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku." Maka Umar radhiyallahu 'anhu meminang gadis itu dan menikahkannya dengan 'Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar ibn 'Abdul Aziz.
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu 'anhu bermimpi, kemudian beliau menceritakan mimpinya itu kepada keluarganya, "Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan kedzaliman." 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Sesungguhnya keluarga al-Khaththab mengira bahwa Bilal ibn 'Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya." Seluruh keluarga Umar ibn al-Khaththab semula mengira bahwa Bilal ibn 'Abdullah ibn Umar adalah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian menghadirkan Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah.
Ciri-Ciri Fisik
Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah berkulit cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda.
Ada pula yang mengatakan, beliau berkulit putih, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping dan berjenggot rapi.
Kehidupan Umar ibn 'Abdul Aziz
Sejak kecil Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah sangat rajin menuntut ilmu dan sudah hafal al-Qur'an. Suatu hari, beliau pernah mengunjungi 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu. Sepulangnya dari kunjungan tersebut beliau pun berkata kepada ibunya, "Ibu! Aku ingin sekali menjadi seperti kakek 'Abdullah ibn Umar", hal itu beliau katakan berulang-ulang. (Lihat al-Atsar al-Waridah An Umar ibn 'Abdul Aziz fi al-'Aqidah [1/56]).
Kemudian beliau merantau ke Madinah untuk berguru pada 'Ulama-ulama di sana. Beliau mendapat bimbingan langsung dari 'Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu dan beliau juga banyak belajar agama dari para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya. Sehingga menjadikan beliau seorang yang ahli ibadah, penghafal hadits, dan zuhud.
Di antara para 'Ulama yang pernah menjadi guru beliau adalah Shalih ibn Kaisan dan 'Ubaidillah ibn 'Abdullah ibn Utbah ibn Mas'ud. Beliau sangat terinspirasi oleh keluhuran budi pekerti keduanya. (Lihat Tahdzib at-Tahdzib [7/22]. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 20).
Juga Sa'id ibn al-Musayyab, Salim ibn 'Abdullah ibn Umar dan masih banyak lagi yang lainnya. Kesemuanya berjumlah 33 orang yang terdiri 8 orang dari kalangan Sahabat dan 25 orang dari Tabi'in. (Musnad Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 33. Lihat al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 20).
Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah tinggal di Madinah sampai kematiannya ayahnya, 'Abdul Aziz ibn Marwan. Kemudian beliau dipanggil ke Damaskus oleh Khalifah 'Abdul Malik ibn Marwan dan dinikahkan dengan anak perempuannya yaing bernama Fathimah. Setelah 'Abdul Malik ibn Marwan meninggal dunia, maka kekhalifahan diteruskan oleh putra tertuanya, al-Walid ibn 'Abdul Malik.
Pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 87 H/706 M, Khalifah al-Walid ibn 'Abdul Malik mengeluarkan keputusan resmi, mengangkat Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah sebagai gubernur untuk wilayah Madinah dan Thaif (Hijaz). Begitu mengetahui dirinya terpilih, Umar ibn 'Abdul Aziz tidak langsung menerima mandat tersebut, melainkan mengajukan tiga persyaratan, jika ditolak beliau memilih mengundurkan diri dan jika dikabulkan beliau segera bertolak berangkat menuju Madinah.
Ketiga syarat itu ialah:
1. Beliau diberi kebebasan untuk menegakkan kebenaran dan memutuskan perkara dengan asas keadilan di wilayah kekuasaan barunya, serta diberi kelonggaran untuk tidak memaksa seorang pun agar membayar pajak ke Baitul Mal, bagi mereka yang memang mempunyai kewajiban untuk membayar. Tentunya hal ini berimbas pada sedikitnya pajak yang akan disetorkan ke pusat pemerintahan.
2. Diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji di tahun pertama kerjanya, kebetulan Umar ibn 'Abdul Aziz saat itu belum menunaikan rukun Islam kelima.
3. Diberi keluasan untuk berderma kepada penduduk Madinah tanpa terkecuali.
Begitu syarat ini dikabulkan oleh Khalifah al-Walid, Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah pun bertolak ke Madinah. Sedangkan di Madinah sendiri luapan kegembiraan penduduknya -yang mengetahui bahwa gubernur baru mereka adalah Umar ibn 'Abdul Aziz- sedang menunggu menyambutnya. (Lihat Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 41-42).
Sesampainya di Madinah, hal yang pertama kali dilakukan Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah adalah membentuk Majlis Syura yang beranggotakan sepuluh 'Ulama Madinah. Mereka antara lain: Urwah ibn Zubair, Ubaidullah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah, Abu Bakar ibn 'Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam, Abu Bakar ibn Sulaiman ibn Abu Khaitsamah, Sulaiman ibn Yasar, Qasim ibn Muhammad, Salim ibn 'Abdullah ibn Umar, 'Abdullah ibn 'Abdullah ibn Umar, 'Abdullah ibn 'Amir ibn Rabi'ah dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit. Lalu Umar ibn 'Abdul Aziz pun berbicara di hadapan mereka, "Aku memanggil kalian semua untuk sebuah kepentingan yang kalian akan diberi balasan karenanya dan mengajak kalian untuk berjibaku serta bahu membahu menegakkan kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan satu perkara pun melainkan berdasarkan pendapat kalian atau salah satu dari kalian. Jika kalian mendapati seseorang berbuat aniaya atau menjumpai salah satu pegawaiku berbuat dzalim, beritahukanlkah padaku." (ath-Thabaqat [5/257]. Lihat al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 24).
Di bawah pemerintahan Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah, Madinah berubah menjadi makmur dan sentosa. Salah satu prestasi kerjanya adalah perluasan Masjid Nabawi dengan panjang dan lebar: 200 X 200 hasta (Menurut Mu'jam Lughah al-Fuqaha panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan al-Mu'jam al-Wasath 64 cm), kemudian menghiasinya -meskipun sebenarnya Umar ibn 'Abdul Aziz sendiri tidak menyukai hal tersebut- berdasarkan perintah langsung dari Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik. (Mausu'ah Fiqh Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Muhammad Rawwas Qal'aji. Lihat al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 25).
Banyak 'Ulama Madinah yang menolak perluasan Masjid Nabawi, karena perluasan tersebut mengakibatkan rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ikut dipugar. Sa'id ibn al-Musayyab berkata: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana."
Dan pada tahun 92 H, Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah mengundurkan diri dari jabatan gubernur disebabkan penyesalannya yang begitu mendalam karena telah memberi hukuman yang berujung kematian pada Khubaib ibn 'Abdullah ibn Zubair. Dan hal itu selalu terngiang-ngiang di benaknya hingga ajal menjemputnya. (Selengkapnya silahkan baca Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 43-44).
Sedangkan Ibn Jarir dan yang lainnya menyebutkan, sebenarnya Umar ibn 'Abdul Aziz dibebastugaskan dari jabatan gubernur, karena "perang urat syaraf" yang terjadi antara beliau dan Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa yang dzalim. Dan khalifah al-Walid ibn 'Abdul Malik sendiri lebih condong untuk menempuh jalan politik pemerintahan ala Hajjaj. (Tarikh ath-Thabari [7/383]. Dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 27).
Dikisahkan ketika Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah keluar meninggalkan Madinah, beliau menangis tersedu. Sesaat kemudian menoleh ke belakang, ke arah Madinah, seraya berkata kepada pembantunya, "Hai Muzahim! Aku khawatir terhadap diriku sendiri. Jangan-jangan aku termasuk orang yang difilter Madinah" (al-Bidayah wa an-Nihayah [12/683] dan Sirah Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Ibn 'Abdul Hakam hal. 28, dinukil dari al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 28), sambil mengisyaratkan pada sebuah hadits, 'Ketahuilah! Madinah itu seperti pandai besi yang sedang membersihkan karat. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi sampai Madinah ini memfilter penduduknya yang jelek, sebagaimana pandai besi membersihkan karat (yang menempel di besi)'. (HR. Muslim [1381]. Lihat juga Sahih Bukhari hadits [1883] dan [1884]).
Masa Kekhalifahan
Pada tahun 716 M, Khalifah Sulaiman ibn 'Abdul Malik wafat. Sebelum wafatnya, ia telah menuliskan surat wasiat yang isinya agar mengangkat Umar ibn 'Abdul Aziz sebagai khalifah sepeninggalnya dan Yazid sebagai pengganti setelah Umar. (Lihat Tarikh ath-Thabari [7/445] dan ath-Thabaqat karya Ibn Sa'ad [5/335-338]).
Akhirnya Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah dibai'at sebagai khalifah pada hari Jum'at sepuluh hari terakhir bulan Shafar tahun 99 H. (al-Bidayah wa an-Nihayah [12/657]).
Di dalam memimpin negara, beliau sangat menjunjung tinggi asas keadilan, tidak ada yang lebih penting dari itu. Disamping itu beliau juga berusaha menunaikan kewajibannya sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya dan menunaikan hak rakyat sebagaimana mestinya. Beliau berusaha agar tidak seorang pun -yang hidup di bawah pemerintahannya- merasa haknya terdzalimi, bahkan binatang pun tak luput dari perhatian beliau. (Lihat Al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 59).
Sebegitu besar sifat amanah yang dimilikinya sampai-sampai ketika ada seseorang yang bertanya, "Wahai Amirul Mu'minin! Kenapa engkau tampak bersedih?". Beliau menjawab, "Siapa pun yang berada di posisiku sekarang ini pasti akan bersedih." "Tidak seorang pun dari rakyatku kecuali aku ingin menunaikan haknya sebagaimana mestinya, meskipun ia tidak memintanya," lanjutnya. (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/132]).
Lalu mengutarakan alasan kenapa beliau bersedih, "Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, tapi justru akulah yang paling berat beban dan tanggung jawabnya." (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/132]).
Keadilan, amanah dan tanggung jawabnya menjadikan rakyatnya hidup dalam kedamaian, aman, makmur dan sentosa. Hal itu terbukti dengan sedikitnya para penerima zakat di era pemerintahannya. Pernah seseorang mengeluarkan zakat dengan jumlah yang sangat besar, namun ketika ia mencari orang-orang yang berhak menerimanya, ia kembali dengan zakat masih utuh seperti semula. (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/132]).
Pada masa pemerintahannya, beliau berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mewujudkan masyarakat yang madani. Karena itu banyak ahli sejarah yang menyebut Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5.
al-Walid ibn Muslim menceritakan bahwa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata, "Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi: 'Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah bai'at kepadanya karena dia adalah pemimpin yang adil'. Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar ibn 'Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi bai'at kepadanya."
Qais ibn Jabir berkata, "Perbandingan Umar ibn 'Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Fir'aun."
Hassan al-Qishab telah berkata, "Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar ibn 'Abdul Aziz."
Umar ibn Asid telah berkata, "Demi Allah, Umar ibn 'Abdul Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai: 'Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mau'. Tetapi tiada yang mau menerimanya (karena semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya."
'Atha' telah berkata, "Umar ibn 'Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha' setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis karena takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenazah di antara mereka."
Istri-Istri dan Putra-Putri Umar ibn 'Abdul Aziz
Istri pertamanya adalah wanita yang shalihah dari kalangan Bani Umayyah, ia merupakan putri dari Khalifah 'Abdul Malik ibn Marwan yaitu Fathimah. Ia memiliki nasab yang mulia, putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar ibn 'Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana.
Istrinya yang lain adalah Lamis binti 'Ali, Ummu 'Utsman binti Syu'aib, dan Ummu Walad.
Dari istri-istrinya tersebut, Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah mempunyai beberapa orang anak, di antara mereka adalah 'Abdul Malik, 'Abdul Aziz, 'Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Bakar, al-Walid, Musa, 'Ashim, Yazid, Zaban, 'Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu 'Abdillah.
Keutamaan Umar ibn 'Abdul Aziz
Paling Takut Kepada Allah
Dari al-Mughirah ibn Hukaim, dia berkata: Fathimah binti 'Abdul Malik ibn Marwan, dia berkata kepadaku, "Wahai Mughirah, mungkin saja ada orang yang lebih baik shalat dan puasanya daripada Umar ibn 'Abdul Aziz, akan tetapi aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih banyak takut dan lebih banyak menangis di hadapan Tuhannya daripada Umar ibn 'Abdul Aziz. Jika dia masuk ke rumahnya, dia langsung bersujud, dia terus saja menangis hingga kedua matanya tertidur, kemudian terbangun dan menangis lagi dan lagi. Dia menghabiskan sebagian besar malamnya seperti itu."
Ibadahnya
Dari Zaid ibn Aslam bahwa Anas ibn Malik radhiyallahu 'anhu telah berkata, "Aku tidak pernah menjadi ma'mum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mana shalat imam tersebut menyamai shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan daripada Umar ibn 'Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah gubernur Madinah."
Keilmuannya
Para ahli yang menulis biografi Umar ibn 'Abdul Aziz sepakat bahwa beliau termasuk salah satu Imam (panutan dalam ilmu pengetahuan) di zamannya, sebagaimana ditegaskan Malik dan Sufyan ibn Uyainah (Lihat al-Atsar al-Waridah An Umar ibn 'Abdul Aziz [1/67]). Di samping itu beliau juga digelari al-'Allamah (yang luas ilmunya), al-Mujtahid (ahli Ijtihad), dan al-Hafidz (panutan dalam ilmu hadits). (Lihat Siyar A'lam an-Nubala' [5/114]).
Mujahid pernah bercerita: "Dulu kami pernah mendatangi Umar ibn 'Abdul Aziz karena ingin mengajarinya beberapa hal, namun justru kamilah yang diajarinya." (Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar [7/419]).
Maimun ibn Mihran juga pernah berkomentar: "Di hadapan Umar ibn 'Abdul Aziz, para 'Ulama hanyalah bagaikan murid." (Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibn Hajar [7/419]. Lihat juga al-Bidayah wa an-Nihayah [12/682] dan Siyar A'lam an-Nubala' [5/120]).
Bahkan para 'Ulama lain pun tidak segan-segan berhujjah dengan perkataan dan perbuatan beliau. Di antaranya: Laits ibn Sa'id ketika menulis surat untuk Malik ibn Anas menyebutkan nama beliau berkali-kali untuk menguatkan pendapatnya sendiri dalam beberapa persoalan. (Lihat al-Atsar al-Waridah An Umar ibn 'Abdul Aziz [1/70]).
Lebih dari itu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad sering menyebut nama beliau dalam beberapa kitab mereka. (Selengkapnya silahkan baca al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 22).
Imam Ahmad berkomentar: "Aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan Tabi'in yang perkataannya dijadikan hujjah selain Umar ibn 'Abdul Aziz. Dan ini cukup (sebagai saksi akan keilmuan beliau)." (Lihat al-Bidayah wa an-Nihayah [12/677]).
Beliau melanjutkan: "Jika engkau mendapati seseorang yang mencintai Umar ibn 'Abdul Aziz, lalu menyebut-nyebut kebaikan dan menyebarkannya. Ketahuilah di balik itu semua ada kebaikan (yang menunggu), insya Allah." (Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz hal. 74).
Kezuhudannya
Dari Maslamah ibn 'Abdul Malik, dia berkata, Aku menemui Umar ibn 'Abdul Aziz untuk menjenguknya karena sakit. Saat itu dia mengenakan baju yang sudah jelek dan kotor, kemudian aku berkata kepada Fathimah binti 'Abdul Malik, istrinya, "Wahai Fathimah, cucilah baju Amirul Mu'minin." Sang istri berkata, "Insya Allah akan aku lakukan." Selang beberapa waktu, aku pun kembali menjenguknya dan ternyata bajunya masih yang itu juga, sehingga aku pun berkata kepada istrinya, "Wahai Fathimah, tidakkah aku telah memintamu untuk membersihkan dan mengganti pakaian Amirul Mu'minin, karena banyak warga yang ingin menjenguknya?" Fathimah berkata, "Demi Allah, dia tidak mempunyai baju yang selain itu."
Dari Malik ibn Dinar, dia berkata: Orang-orang berkata, "Malik ibn Dinar adalah orang yang zuhud," akan tetapi sebenarnya orang yang bisa dikatakan zuhud itu adalah Umar ibn 'Abdul Aziz yang dikaruniai kemewahan dunia dengan segala isinya akan tetapi dia memilih untuk meninggalkannya."
Kewara'annya
Ja'wanah berkata, "Ketika 'Abdul Malik ibn Umar ibn 'Abdul Aziz meninggal dunia, Umar ibn 'Abdul Aziz terlihat bersyukur karenanya. Kemudian, sesorang berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu'minin, jika dia masih hidup, apakah anda akan mengangkatnya sebagai putra mahkota?" Dengan tegas Umar menjawab, "Tidak." Orang itu bertanya lagi, "Mengapa tidak, dan anda malah bersyukur atas kematiannya?" Dia menjawab, "Aku takut dia akan menjadi perhiasan di mataku (yang dapat menghalanginya dari kebenaran), seperti perhiasan seorang anak pada orang tuanya."
Dari Yahya ibn Said, dia berkata, "Abdul Humaid ibn 'Abdurrahman menulis sepucuk surat kepada Umar ibn 'Abdul Aziz. Dalam suratnya itu dia berkata, "Sesungguhnya telah ada pengaduan kepadaku tentang seseorang yang mencaci anda, kemudian aku berniat membunuhnya. Akan tetapi, aku membatalkannya hingga akhirnya aku berinisiatif menulis surat kepada anda untuk meminta pendapat anda." Umar ibn 'Abdul Aziz berkata, "Seseorang tidak berhak untuk dibunuh hanya karena mencaci orang lain, kecuali yang mencaci Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Jadi, caci makilah dia jika kamu menginginkannya, kemudian
lepaskan."
Kerendahan Hatinya
Dari Raja' ibn Haiwah, dia berkata, "Aku pernah begadang malam bersama Umar ibn 'Abdul Aziz, tiba-tiba lampu padam. Lalu aku bergegas untuk berdiri dan memperbaikinya, akan tetapi Umar ibn 'Abdul Aziz melarangku. Setelah itu, dia memperbaikinya sendiri dan duduk kembali, lalu dia berkata, "Jika kamu duduk, maka aku tetap Umar ibn 'Abdul Aziz (orang biasa yang tak perlu diistimewakan). Dan jika kamu berdiri, maka aku juga tetap Umar ibn 'Abdul Aziz dan celakalah seseorang yang memperkerjakan tamunya."
Wafatnya
Umar ibn 'Abdul Aziz rahimahullah meninggal dunia di Dir Sam'an, pada tanggal 10 atau 5 bulan Rajab tahun 101 Hijriyah akibat diracun oleh pembantunya. Saat itu beliau genap berusia 39 tahun 6 bulan. Beliau meninggal setelah memerintah selama 2 tahun 5 bulan. Namun, di balik masa pemerintahannya yang singkat tersebut, beliau telah berbuat banyak untuk peradaban manusia dan Islam secara khusus.
Ibn al-Jauzi dalam kitab
sirah-nya, dia berkata: Ada yang memberitahukan kepadaku bahwa al-Manshur berkata kepada 'Abdurrahman ibn al-Qasim, "Berilah aku nasehat!" Dia berkata, "Dengan apa yang pernah aku lihat atau dengan apa yang pernah aku dengar?" Dia berkata, "Dengan apa yang pernah yang anda lihat." Dia berkata, "Umar ibn 'Abdul Aziz meninggal dunia, dengan meninggalkan 11 putra, harta warisannya 17 dinar. Harta itu lalu digunakan mereka untuk membeli kain kafan 5 dinar dan kuburannya 2 dinar. Dan yang tersisa dibagikan kepada semua anggota keluarga dan setiap mereka mendapat 19 dirham. Hisyam ibn 'Abdul Malik meninggal dunia, dia meninggalkan 11 putera, harta warisannya dibagikan kepada anak-anaknya itu dan masing-masing mendapatkan ribuan dinar. Dan aku pernah melihat seorang lelaki dari keturunan Umar ibn 'Abdul 'Aziz membawa seratus kuda perang untuk dishadaqahkan guna dipakai berperang di jalan Allah dalam satu hari, dan aku melihat seorang lelaki dari keturunan Hisyam ibn 'Abdul Malik diberikan shadaqah (karena sudah jatuh miskin)."
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai Umar ibn 'Abdul Aziz, dan menempatkan beliau kepada kedudukan yang tinggi di sisi Rabbnya. Amiin.
* Biografi Umar ibn 'Abdul Aziz selengkapnya lihat kitab-kitab berikut:
- al-Khalifah ar-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Ibn Katsir
- Sirah wa Manaqib Umar ibn 'Abdul Aziz, karya Ibn al-Jauzi