4.1.12

Ahlul Bait : al-Husain radhiyallahu 'anhuma, Pemimpin Pemuda di Surga

Nama Lengkap dan Nasab

Nama lengkap beliau adalah al-Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib ibn 'Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn 'Abdi Manaf ibn Qushay al-Qurasyi al-Hasyimiy. Kunyahnya adalah Abu 'Abdillah. Beliau adalah seorang imam yang mulia, cucu kesayangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di samping al-Hasan radhiyallahu 'anhuma. Ayahnya adalah 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan ibunya yaitu Fathimah binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

al-Husain radhiyallahu 'anhuma dilahirkan pada tanggal 5 Sya'ban tahun ke-4 Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan al-Hasan radhiyallahu 'anhuma, kakaknya, menurut sebagian 'Ulama adalah satu kali masa suci ditambah masa kehamilan. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah [7/149]).

Beberapa Sifat al-Husain

Secara fisik, al-Husain radhiyallahu 'anhuma lebih mirip dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada bagian dada sampai kaki, sementara al-Hasan radhiyallahu 'anhuma lebih mirip dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada wajahnya. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah [8/150]).

Tentang sifat al-Husain radhiyallahu 'anhuma lainnya, antara lain sebagaimana yang dibawakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dari riwayat Sa'id ibn 'Amr, ia berkata: Sesungguhnya al-Hasan radhiyallahu 'anhuma pernah berkata kepada al-Husain radhiyallahu 'anhu: "Betapa ingin aku memiliki sebagian kekerasan hatimu." Lalu al-Husain radhiyallahu 'anhuma menjawab: "Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan lidahmu." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/287]).

Kedudukan al-Husain

al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma adalah seorang Imam di antara imam-imam Ahlussunnah, beliau memiliki kedudukan mulia di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sangat dicintainya.

Dari Ibn Abi Nu'mi rahimahullah, ia berkata: Aku mendengar Ibn Umar radhiyallahu 'anhuma ketika ditanya oleh seseorang (yang datang dari Iraq) tentang hukum orang yang berihram -(kata Syu'bah: saya menduga ia bertanya tentang hukum) membunuh lalat-. Maka Ibn Umar berkata: "(Lihatlah) orang-orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka telah membunuh putra dari putri Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: 'Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia'." (Riwayat al-Bukhari dan lainnya, Fathul Bari [7/95], no. 3753).

adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A'lam Nubala' membawakan riwayat dari Jabir radhiyallahu 'anhu yang ketika melihat al-Husain ibn 'Ali masuk ke dalam Masjid mengatakan: "Barangsiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli surga maka lihatlah al-Husain radhiyallahu 'anhuma ini. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (Lihat Siyar A'lam Nubala [3/282-283]. Dikatakan oleh pen-tahqiq Siyar A'lam Nubala' bahwa para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam Kitab Shahih, kecuali ar-Raba' ibn Sa'd, tetapi ia tsiqah).

Dalam kitab yang sama, adz-Dzahabi rahimahullah juga membawakan riwayat dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelimuti 'Ali, Fathimah serta kedua anaknya (al-Hasan dan al-Husain) dengan sebuah selimut, kemudian beliau bersabda: "Ya Allah, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya." Aku (Ummu Salamah) bertanya: "Apakah aku termasuk mereka?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau menuju kepada kebaikan."

Hadits ini dikatakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari beberapa jalan dari Syahr. Sementara pen-tahqiq mengatakan, hadits itu shahih dengan syawahidnya. (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/283]).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "al-Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya, Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai al-Husain. Dan al-Husain adalah satu ummat di antara ummat-ummat yang lain dalam kebaikannya." (Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ibn Majah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albani [3/539] no. 3775 - Maktabah al-Ma'arif - Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru th. 1420 H/2000 M. Dan Shahih Sunan Ibn Majah karya Syaikh al-Albani [1/64-65] no. 118-143 - Maktabah al-Ma'arif - Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru th. 1417 H/1997 M).

Demikianlah kedudukan al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma. Beliau sempat hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama sekitar 5 tahun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan al-Hasan radhiyallahu 'anhuma hingga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.

Sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab dan 'Utsman ibn Affan radhiyallahu 'anhuma pun sangat mencintai, memuliakan dan mengagungkannya.

Ketika 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu diangkat menjadi khalifah, dan pusat pemerintahan pindah ke Kuffah, al-Husain radhiyallahu 'anhuma ikut bersama ayahnya ke Kuffah. Dan beliau selalu menyertai ayahnya, 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu sampai wafatnya. Setelah Aam Jama'ah, yaitu setelah al-Hasan radhiyallahu 'anhuma menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah ibn Sufyan pada tahun 41 H, beliau kemudian menetap di Madinah bersama kakaknya, al-Hasan radhiyallahu 'anhuma.

Pada saat Mu'awiyah ibn Abu Sufyan radhiyallahu 'anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu'awiyah juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan al-Husain radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya.

Begitulah, semua Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memuliakan al-Husain radhiyallahu 'anhuma sebagaimana mereka memuliakan al-Hasan radhiyallahu 'anhuma.

adz-Dzahabi rahimahullah membawakan riwayat dari Ibn al-Muhazzim rahimahullah yang mengatakan: "Pernah kami sedang menghadiri suatu jenazah. Lalu, datanglah Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang dengan bajunya mengibaskan debu-debu yang ada pada kaki al-Husain." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/287]).

Tetapi, ketika Yazid ibn Mu'awiyah diangkat sebagai khalifah, al-Husain radhiyallahu 'anhuma bersama 'Abdullah ibn az-Zubair radhiyallahu 'anhu termasuk yang tidak mau berbai'at kepadanya. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu'awiyah. Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan menuju Makkah. Kemudian keduanya menetap di Makkah.

Wafatnya

Para 'Ulama berselisih pendapat tentang kapan al-Husain radhiyallahu 'anhuma wafat. Tetapi, adz-Dzahabi, Ibn Katsir dan Ibn Hajar al-'Asqalani lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari 'Asyura bulan Muharam tahun 61 H. (Lihat Siyar A'lam Nubala [3/318], al-Bidayah wan Nihayah [8/172], Tahdzab at-Tahdzab [2/356]). Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibn Hajar rahimahullah menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun. (Tahdzab at-Tahdzab [2/356]).

Jauh hari sebelum al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma terbunuh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa al-Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh.

adz-Dzahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di antaranya dari 'Ali radiyallahu 'anhu, beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: "Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa al-Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: 'Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?'. Aku menjawab: 'Ya.' Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/288-289]. Pen-tahqiq kitab ini (Muhammad Na'im al-'Arqasusy dan Ma'man Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah).

Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya al-Awashim minal Qawashim: "Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli Kuffah kepada al-Husain (setelah meninggalnya Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu). Kemudian al-Husain mengirim Muslim ibn 'Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membai'at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu memberitahu
beliau (al-Husain) bahwa mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibn Zubair mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah al-Husain. Sebelum sampai beliau di Kuffah ternyata Muslim ibn 'Aqil telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. "Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau mengambil peringatan" (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibn Abbas kepada al-Husain -pent.). Tetapi beliau radhiyallahu 'anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling 'alim pada zamannya yaitu Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu dan menyalahi pendapat syaikh para Shahabat yaitu Ibn Umar. Beliau mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan. Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela-pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah al-Husain, maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan zaman." (Lihat al-Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul 'Arabi dengan tahqiq dan ta'liq Syaikh Muhibbuddin al-Khatib, hal. 229-232).

Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya "Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah al-Husain" adalah bahwa niat al-Husain dengan sebagian kaum Muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan darah al-Husain yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin al-Khatib dalam ta'liq-nya terhadap buku al-Awashim minal Qawashim.

Ketika al-Husain radhiyallahu 'anhuma ditahan oleh tentara Yazid, Samardi al-Jausyan mendorong 'Abdullah ibn Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan al-Husain meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Makkah. Namun mereka tetap membunuh al-Husain dengan dzalim sehingga beliau meninggal dengan syahid.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata: "al-Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan 'Ubaidillah ibn Ziyad di Kuffah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain. Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi' (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi, dan bahwasanya sebagian para Sahabat yang hadir seperti Anas ibn Malik, Abu Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah 'Ubaidillah ibn Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat 'Ubaidillah ibn Ziyad. Adapun 'Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (al-Husain) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibn Ziyad pun dibunuh karena itu. Dan lebih jelas lagi bahwasanya para Sahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abu Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka." (Lihat Majmu' Fatawa [4/507-508]).

'Ubaidillah ibn Ziyad adalah Amir (Gubernur) Bashrah pada masa pemerintahan Yazid ibn Mu'awiyah dan yang kemudian oleh Yazid diangkat pula sebagai Amir Kuffah menggantikan Nu'man ibn Basyir radhiyallahu 'anhu. 'Ubaidillah ibn Ziyad inilah yang memobilisasi perang melawan al-Husain radhiyallahu 'anhuma, dan bahkan menekan dengan ancaman kepada Umar ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash untuk memeranginya. Meskipun sesungguhnya Umar ibn Sa'ad sangat tidak menyukai tugas ini. Bahkan akhirnya beliau menyesal dan mengatakan: "Tidak ada seorang pun yang pulang kepada keluarganya dengan membawa suatu keburukan sebagaimana yang aku bawa. Aku telah menaati 'Ubaidillah ibn Ziyad, tetapi aku telah durhaka kepada Allah dan telah memutuskan tali silaturrahim." (Lihat Siyar A'lam Nubala' [3/300 dan 303]).

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah juga memberikan komentar tentang terbunuhnya al-Husain radhiyallahu 'anhuma sebagai berikut: "Ketika al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma terbunuh pada hari 'Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang dzalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan al-Husain radhiyallahu 'anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja'far, ayahnya yaitu 'Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat al-Husain radhiyallahu 'anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya al-Husain radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya, yaitu al-Hasan radhiyallahu 'anhuma menjadi pemuka para pemuda ahli surga." (Lihat Majma' Fatawa [25/302]).

Pada sisi lain Syaikhul Islam juga mengatakan: "al-Husain radhiyallahu 'anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mati syahid pada hari ('Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membantu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. al-Husain radhiyallahu 'anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya al-Husain radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya (yaitu al-Hasan) radhiyallahu 'anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda ahli surga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap al-Husain radhiyallahu 'anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari'atkan agar hamba-Nya ber-istirja' (mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi raji'un) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya: "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillah wa inna ilaihi raji'un". Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (al-Baqarah: 155-157)." (Lihat Majma' Fatawa [4/511]).

Adapun yang dirajihkan oleh para 'Ulama tentang kepala al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az-Zubair ibn Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling 'alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala al-Husain dibawa ke Madinah an-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya al-Hasan, paman ayahnya al-Abbas dan anak 'Ali dan yang seperti mereka. (Lihat Majma' Fatawa [4/509]).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati al-Husain ibn 'Ali radhiyallahu 'anhuma dan mengampuni seluruh dosa-dosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih. Amiin.

Wallahu al-musta'an.



FeedCount

Cari artikel di blog ini

Loading

Ikuti via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Followers

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template